Menjual Kebencian

Analisis di balik seringnya orang menjual kebencian

Mengapa orang menebar kebencian?

Jawaban paling sederhana dari pertanyaan tersebut adalah karena hal negatif lebih menarik perhatian dibanding hal positif, atau disebut negativity bias (Baumeister, et. al., 2001Fiske, 1980; Kanouse, 1984). Dengan demikian, apabila seseorang dihadapkan pada, misalkan, pilihan A dan B, cara yang paling efektif agar orang memilih A adalah dengan memusatkan perhatian negatif pada B dibanding memusatkan perhatian positif pada A.

Jawaban yang lebih kompleks adalah bahwa secara evolusioner, merespons sesuatu yang berpotensi negatif merupakan strategi yang lebih baik dibanding merespons sesuatu yang berpotensi positif. Dalam konteks masyarakat berburu dan meramu, respons terhadap hal negatif merupakan sesuatu yang membedakan antara hidup dan mati; mengabaikan tanda kehadiran binatang buas (harimau, singa, dll) memiliki konsekuensi yang lebih serius (kematian) dibanding mengabaikan kehadiran hewan yang bisa dijadikan makanan (ayam, sapi, dll)

Kecenderungan untuk membenci orang yang terlihat asing bagi kita juga merupakan hasil dari evolusi; suku (tribes) yang asing bagi manusia purba (mari kita namakan X) berpotensi memiliki niat jahat, seperti mengambil makanan yang dikumpukan oleh X atau merebut wilayah berburu yang selama ini diduduki X. Waspada dan berseteru dengan suku asing merupakan strategi evolusi yang cocok bagi manusia purba. Sayangnya, perkembangan peradaban kita jauh lebih cepat dibanding kemampuan manusia untuk berevolusi; kita, manusia modern, masih memiliki respons terhadap stimuli yang tidak jauh berbeda dengan manusia purba.


Berbicara tentang kebencian, pada hari ini (4 November 2016), energi massa yang sangat besar dicurahkan sebagai bentuk kebencian terhadap aksi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dianggap melecehkan Al-Quran. Terlepas dari apakah perkataan Ahok memang merupakan sebuah bentuk pelecehan Al-Quran (silakan nilai sendiri), salah satu hal yang kita sama-sama bisa setujui adalah bahwa terdapat pembentukan opini di masyarakat bahwa:

  1. Ahok menistakan Al-Quran
  2. Ahok harus dihukum
  3. Apabila Ahok tidak dihukum, maka hal ini merupakan perlindungan terhadap kejahatan (sic) Ahok dan masyarakat (sic) akan mengambil tindakan untuk menghukum Ahok

Mengapa saya berkata bahwa pembentukan opini oleh Gerakan Nasional Pendukung Fatwa MUI dan di akar rumput merupakan sebuah bentuk penebaran kebencian? Hipotesis saya tentang penebaran kebencian ini didasarkan pada tujuan akhir dari Aksi Damai 4 November, yaitu untuk “mengadili” Ahok.

Apabila dalam arti mengadili adalah bahwa Ahok perlu dihadapkan pada proses hukum yang berlaku, maka demonstrasi hari ini merupakan sesuatu yang tidak perlu, mengingat proses hukum atas Ahok sedang berlangsung. Akan tetapi, dilaksanakannya demonstrasi pada hari ini, yang meminta Ahok untuk dihukum, didasarkan pada premis bahwa Ahok bersalah, meskipun pertanyaan tentang apakah Ahok bersalah secara hukum belum dijawab.

Hal ini berarti demonstran mencoba untuk mengarahkan hasil dari proses hukum kepada suatu putusan tertentu. Ketika anda langsung menetapkan orang bersalah tanpa terlebih dahulu menimbang fakta yang ada, maka hampir pasti keputusan anda berangkat dari emosi dan praduga yang dimiliki terhadap sesuatu/seseorang. Dalam kasus ini, lompatan pada kesimpulan bahwa Ahok harus dihukum, terlepas dari fakta yang ada, kemungkinan besar berangkat dari kebencian terhadap Ahok dan ditujukan untuk memfokuskan perhatian negatif pada Ahok.

Apabila memang demonstrasi pada hari ini didasarkan pada kebencian terhadap Ahok, kita perlu menjawab pertanyaan selanjutnya, yang terkait pernyataan di atas: mengapa menebar kebencian terhadap Ahok?

Secara resmi, saya hanya bisa menjawab bahwa terdapat pasar untuk menjual hal-hal yang negatif tentang Ahok. Sebagai contoh, artikel Tribun News menyebutkan bahwa terdapat subsidi bagi demonstrasi 4 November sebesar Rp 100 milyar. Apabila kita mengambil ucapan pihak GNPF MUI sebagai mutlak benar, maka terdapat cukup banyak masyarakat Indonesia yang memiliki permintaan untuk memobilisasi massa dan menarik perhatian negatif terhadap Ahok.

Pertanyaan berikutnya: mengapa perlu menarik perhatian negatif terhadap Ahok melalui isu agama, dan pada titik tertentu, ras? Mengapa tidak memfokuskan perhatian negatif terhadap Ahok melalui isu kebijakan, yang jelas-jelas lebih memengaruhi warga Jakarta?

Isu kebijakan secara umum merupakan konsep yang bersifat abstrak dan cenderung lebih banyak menggunakan logika (mis. bauran moda transportasi, kebijakan terkait penggusuran, etc.). Menyerap isu terkait kebijakan memerlukan upaya untuk berpikir, yang secara umum bukan sesuatu yang dilakukan untuk kesenangan pribadi. Hal ini tidak banyak menarik perhatian orang, mengingat kegiatan kognitif yang dilakukan untuk sesuatu yang tidak menyenangkan cenderung membuat orang lelah.

Isu SARA, di lain pihak, dapat direspons oleh otak cukup spontan. Manusia cenderung cepat dalam mengasosiasikan sifat-sifat, terutama yang negatif, terhadap karakteristik pribadi, seperti SARA (Hamilton & Gifford, 1976). Karakteristik SARA secara evolusioner merupakan penanda kelompok kawan dan lawan yang baik, sehingga kita cenderung menganggap orang dengan agama atau ras yang berbeda sebagai pihak asing/lawan. Ditambah dengan kecenderungan manusia untuk bersikap awas terhadap pihak yang dianggap asing (q.v. supra), maka manusia secara umum sangat mudah untuk melekatkan stereotip negatif terhadap pihak yang dianggap asing (terutama minoritas) dan mudah digerakkan untuk melawan pihak asing (mengingat strategi evolusioner yang dominan adalah mengasosiasikan pihak asing dengan potensi dampak negatif).

Pasar untuk menebar kebencian berbasis SARA muncul dari eksploitasi sifat manusia yang secara umum lebih cepat merespons terhadap hal negatif, terutama yang berkaitan dengan agama dan ras. Dengan mengetahui sifat dasar manusia tersebut, kita tahu bahwa menghindarkan isu negatif terkait SARA sangat sulit tanpa adanya intervensi dari masing-masing pribadi. Satu-satunya cara yang efektif adalah dengan membiasakan masyarakat untuk senang berpikir kritis dan menggunakan logika dalam debat mengenai kebijakan publik (ingat bahwa mengisi TTS, Sudoku, atau bermain catur memerlukan kerja otak yang intensif, namun banyak orang tidak malas bermain hal-hal tersebut karena hal tersebut dianggap menyenangkan).

Sayangnya, pendidikan kita cenderung lebih menekankan penghafalan ayat-ayat agama atau tahun dimulainya perang dibanding dengan membiasakan budaya berpikir kritis

¯\_(ツ)_/¯

Mata ganti mata (pihak ketiga)

Mengapa perusakan rumah ibadah di Tanjung Balai tidak hanya salah, namun juga adalah sesat pikir

Saya sebenarnya tidak suka membahas isu sosial terkini di masyarakat karena: (1) kebanyakan pengetahuan saya terspesialisasi dalam bidang makroekonomi, bukan sosiologi/antropologi dan (2) saya sudah lelah melihat kegilaan massal yang bernama masyarakat Indonesia

Seriously, apakah anda masih bisa berharap masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas dan beradab ketika kebanyakan mereka menghabiskan waktu di Facebook/Twitter/YouTube dengan hal-hal seperti:

“53.924 bukti bahwa bumi itu datar dan matahari mengelilingi bumi”,

“Pokemon adalah Anti-Christ/haram/Illuminati/Sadako/whatever-the-fuck-it-is“,

“Like bila anda sayang ibu/namboru/kokoh/pakde/cikgu anda”,

atau mengunggah gambar pseudo-inspiratif
“kalau dia lama balas chat kamu, mungkin dia udah ga sayang sama kamu :)” ???

Okay. Back to the point. Anda mungkin sudah mendengar di media massa/sosial mengenai peristiwa pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai, Asahan. Saya tidak ingin berkomentar tentang peristiwa tersebut per se, namun saya lebih tertarik dengan pandangan-pandangan yang mungkin bisa disimpulkan dengan tweet ini:

Hate Speech.jpg

Selain menggambarkan kecenderungan masyarakat untuk mengabaikan tata bahasa yang baik dan benar (“lakukan”, bukan “dilakukan”), tweet di atas menggambarkan paham yang dianut sebagian masyarakat di Indonesia dewasa ini, yaitu

“Apabila X melakukan sesuatu yang jahat terhadap Y, maka adalah benar bagi Y untuk membalaskan kejahatan X terhadap X atau Z, di mana Z adalah kelompok yang kebetulan memiliki identitas yang sama terhadap Z”

Apabila saya menerapkan konsep di atas dalam kasus Tanjung Balai, maka mungkin pernyataan di atas akan menjadi:

“Apabila X, etnis Tionghoa beragama Buddha, melakukan sesuatu yang jahat (for this argument’s sake) terhadap umat di sebuah masjid di Tanjung Balai, maka adalah benar bagi umat Islam di Tanjung Balai untuk membalas kejahatan tersebut terhadap X ataupun umat Buddha Tionghoa yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini”

Tentang hukum mata ganti mata, mungkin anda bisa berdebat bahwa di agama/kepercayaan tertentu, hal ini dibenarkan (kebetulan saya percaya bahwa kejahatan harus dibalas dengan kasih, namun hal tersebut tidak relevan dalam kasus ini).

Namun apakah membalaskan kejahatan yang dilakukan X (yang belum tentu benar sebuah kejahatan seperti yang dituduhkan) terhadap umat suatu masjid di Tanjung Balai kepada semua etnis Tionghoa beragam Buddha bisa dibenarkan?

Apabila hal itu dapat dibenarkan dan logika siapapun yang menganggapnya benar konsisten, maka konsekuensinya adalah:

  1.  Ad hominem/guilt by association adalah benar, atau
  2. Anda tidak perlu repot-repot memiliki prinsip tentang apa yang benar ataupun salah

Lalu anda bertanya, “loh kok gitu?”

Mari kita menghentikan sejenak pembahasan kita tentang pembakaran vihara di Tanjung Balai dan membahas masalah terorisme.

Sejak peristiwa 9/11, di mana anggota Al-Qaeda membajak pesawat dan menghancurkan menara kembar WTC, banyak masyarakat Amerika Serikat menganggap bahwa semua umat Islam adalah teroris. Pada titik ini, anda mungkin akan langsung tidak setuju (saya juga) bahwa semua umat Islam adalah teroris. Lebih jauh lagi, mungkin ada yang langsung berargumen bahwa Islam adalah agama damai. That’s fine, tapi….

Apabila anda menganggap bahwa apa yang dipercayai masyarakat Amerika Serikat (Muslim=teroris) adalah salah dan mereka sudah jatuh pada perangkap guilt by association, seharusnya anda sudah bisa melihat bahwa para perusuh di Tanjung Balai (terlebih para netizen kelas menengah ngehe di Jakarta), menggunakan logika Muslim≠teroris pada kasus Amerika Serikat, seharusnya tidak terprovokasi untuk marah atau melampiaskan kemarahan pada semua orang Buddha/Tionghoa di Tanjung Balai.

Argumen kita seharusnya berhenti di sini apabila kita tidak mendapati pendapat berikutnya:

“Mengganggu ibadah orang lain adalah salah, namun karena A mengganggu ibadah orang yang seagama dengan saya, maka saya juga berhak mengganggu ibadah A ataupun orang yang seagama dengan A”

Okay, mari kita coba gunakan logika di atas pada aplikasi lain:

  1. Menyontek adalah salah, namun karena teman saya yang paling pintar pernah menyontek saya, maka saya juga berhak untuk menyontek
  2. Korupsi adalah salah, namun karena wakil kami di DPR dan pemerintahan juga mengorupsi uang rakyat, tidak ada salahnya bagi saya untuk ikut korupsi
  3. Membunuh adalah salah, namun karena teroris yang mengatasnamakan Islam pernah membunuh masyarakat Amerika Serikat, maka Amerika Serikat boleh membalaskan hal tersebut terhadap umat Islam di Iraq/Afghanistan. Atau, untuk membuat Amerika hebat kembali, Amerika Serikat cukup menolak semua imigran beragama Islam untuk masuk ke Amerika Serikat (anda mungkin tahu siapa yang saya maksud)
  4. dll.

Suatu hal yang salah tidak membuat kesalahan lain menjadi benar, dan saya telah menghabiskan 300 kata dan mungkin 5 menit waktu anda untuk menjelaskan bahwa (1) ad hominem/guilt by association adalah salah dan (2) kebanyakan orang mungkin masih memiliki prinsip tentang apa yang benar dan salah. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh para perusuh di Tanjung Balai adalah salah, terlepas dari apapun yang dilakukan oleh orang beragama Buddha dan beretnis Tionghoa tersebut.

Di tingkat yang lebih umum, kita dapat menyimpulkan bahwa secara logis, kita tidak boleh membalaskan kejahatan orang lain kepada pihak ketiga yang kebetulan memiliki suku/agama/ras/pandangan politik. Saya tidak percaya saya harus menulis sebuah blog post untuk menekankan hal yang harusnya merupakan common sense. Alas, common sense is not that common.

Saya bisa saja mencoba menjelaskan hal di atas dengan melakukan pendekatan kasih (kasih pasti lemah lembut, kasih tidak membalaskan yang jahat dengan yang jahat, etc.) ataupun pendekatan hukum (Indonesia negara hukum, apabila anda menganggap seseorang mengganggu hak ibadah anda, anda harus melakukan proses hukum yang sesuai), namun sepertinya penjelasan-penjelasan tersebut sulit dicerna masyarakat Indonesia. Others did it, but it didn’t work.

Eh, tapi mimpi apa saya semalam hingga saya masih percaya masyarakat yang mendukung perusuh di Tanjung Balai mau mendengarkan argumen berbasis logika dan akal sehat? Yang biasa berseru-seru tentang logika dan akal sehat, kan, kaum liberal komunis ateis Yahudi freemason….

 


Catatan: menurut berita resmi, pria berinisial “M” hanya mengajukan keluhan terhadap loudspeaker masjid yang terlampau kencang. Saya tidak menganggap keluhan terhadap loudspeaker adzan sebagai ancaman terhadap kelangsungan ibadah, tapi mungkin saja beberapa orang menganggapnya demikian.

Menurut saya, keluhan M bisa saja merupakan keluhan yang dapat dibenarkan. Suara yang terlalu bising bisa mengganggu kesehatan jangka panjang orang yang terekspos secara rutin. Kesalahan ini seharusnya dapat dihindari apabila aturan pengeras suara memiliki kriteria yang jelas (mis. maksimal sekian decibel) dan ditegakkan secara konsisten.

Melawan Keserakahan Kartel Pengusaha Taksi

Saya akan memulai artikel ini dengan mengasumsikan bahwa pembaca sudah melihat betapa beringasnya demonstrasi supir taksi konvensional, terutama Blue Bird Group, di Jakarta pada hari ini.

Tuntutan mereka sederhana: larang taksi berbasis aplikasi (GrabCar & Uber), yang telah secara tidak adil (sic) merebut penghidupan mereka. Sejauh ini tidak ada yang aneh, karena toh kericuhan serupa juga terjadi di negara-negara lain.

Apabila pembaca lebih jauh mendengar keluh kesah supir taksi, seringkali mereka tidak memenuhi target setoran yang dipasang oleh perusahaan setelah taksi berbasis aplikasi menjamur, yang berakibat pada menurunnya pendapatan supir taksi konvensional secara drastis. Dalam beberapa kasus mungkin mereka harus bekerja hampir 24 jam sehari (saya tidak tahu persisnya) hanya untuk menutupi target setoran dan memberi makan diri mereka sendiri beserta keluarga. Mengingat kesulitan yang mereka hadapi, sangat dapat dipahami (namun tetap tidak dapat diampuni) apabila mereka meluapkan kekesalannya dengan kekerasan dan tindakan yang tidak beradab.

Masalah mereka ada pada subyek demonstrasi, yaitu pemerintah, serta tuntutan demonstrasi, yaitu pelarangan taksi berbasis aplikasi, yang menurut hemat saya (dan banyak orang yang telah belajar ekonomi) terang-terangan salah sasaran. Mengapa?

Jawabannya sederhana, kemunculan taksi berbasis aplikasi hanyalah respons dari masalah sebenarnya, yaitu KARTEL (atau populer disebut MAFIA) PERUSAHAAN TAKSI

Sekarang, mengapa saya berani mengklaim bahwa penurunan omzet taksi, yang berdampak pada penurunan pendapatan supir taksi konvensional, merupakan dampak dari keberadaan kartel perusahaan taksi?

1. Kartel secara sengaja mengurangi persaingan di antara perusahaan taksi dan menyebabkan perusahaan taksi malas berinovasi

Apabila pembaca belum tahu, penetapan tarif batas bawah taksi dilakukan tidak lain oleh kartel pengusaha angkutan darat Organda, bukan oleh pemerintah. Bahkan unsur pemerintah yang mengawasi persaingan usaha, KPPU, juga mengingatkan dari jauh-jauh hari bahwa penetapan tarif taksi di Jakarta merupakan bentuk persaingan usaha yang tidak sehat dan pantas disebut kartel.

Ini kata KPPU (bisa dilihat di tautan sebelumnya)

….Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat….

Ironis apabila pengusaha taksi menuntut pelarangan Uber dan GrabCar atas dasar melawan hukum padahal mereka sudah bertahun-tahun melanggar hukum (belum lagi hukum perburuhan untuk pembayaran supir taksi, dst.)

 

Lebih celakanya, pemerintah (di level pusat maupun daerah) sepertinya merestui keberadaan kartel taksi dengan membiarkan Organda menetapkan batas tarif bawah. Lalu pembaca mungkin bertanya, apa dampak dari keberadaan batas tarif bawah taksi?

Dengan adanya batas tarif bawah, para pengusaha taksi setidaknya tahu bahwa pesaingnya (misalkan Ekspres v. Blue Bird) tidak akan “berperang” harga, sehingga mereka tidak perlu terlalu agresif untuk mencari penumpang. Cukup dengan memastikan bahwa taksi tidak jelek-jelek amat (seperti taksi Kosti atau taksi gurem lainnya, misalkan), mereka pasti akan dapat penumpang.

Mengetahui bahwa penumpang kelas menengah atas di perkotaan tidak punya alternatif (kendaraan umum) lain untuk pergi dari titik A ke B tanpa kena panas/hujan, apa yang mendorong pengusaha untuk memastikan bahwa penumpang mereka mendapat pelayanan terbaik? Mungkin ada, tapi minim.

Mari kita ambil contoh kelakuan banyak taksi konvensional di jalanan ibukota yang sering jadi keluhan:
(1) supir tidak tahu jalan dan malas cari tahu (menggunakan GPS)
(2) supir sering tidak mau mengembalikan kelebihan uang
(3) taksi sering “hilang” saat hujan, padahal banyak taksi ngetem di tempat-tempat tertentu
(4) supir bau
(5) taksi tidak menerima pembayaran non-tunai (bahkan bagi taksi yang dilengkapi alat pembayaran non-tunai)
(6) tidak bisa pesan taksi menggunakan aplikasi ponsel, dan kalaupun ada, seringkali aplikasinya tidak ramah pengguna (user-friendly)

….dan sederet keluhan lainnya. Pengusaha taksi seringkali berdalih bahwa mereka tidak mampu bersaing dengan platform Uber atau GrabCar dan mengatasi keluhan-keluhan tersebut, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa mereka tidak punya uang untuk berinvestasi pada platform atau SDM supir yang lebih kompeten. Namun apakah benar?

2. Keberadaan kartel perusahaan taksi memungkinkan pemilik usaha taksi menyedot keuntungan tidak wajar lewat setoran harian yang tinggi

Salah satu tantangan bagi supir taksi adalah memenuhi target setoran harian ke perusahaan dan akhir-akhir ini menjadi masalah. Perusahaan bisa saja berdalih bahwa setoran tersebut diperlukan untuk membiayai pembelian armada serta operasional sehari-hari, namun tahukah pembaca bahwa pengusaha taksi sebenarnya mampu menurunkan setoran harian bagi sopir taksi dan tetap menikmati keuntungan yang sehat?

Mari kita lihat laporan keuangan Blue Bird (BIRD.IJ) dan Ekspres (TAXI.IJ) sebelum mereka IPO untuk melihat keuntungan yang sebenarnya diraup oleh keluarga pemilik usaha taksi*

Pada tahun 2013, pemegang saham Blue Bird (sebelum go public) menaruh modal di induk Blue Bird Group sebesar Rp 1,14 triliun dan meraih keuntungan setelah pajak sebesar Rp 707 milyar. Ini artinya sebelum go public, pemegang saham Blue Bird mendapatkan keuntungan bersih setelah pajak sebesar 62% dari modal yang ditempatkan.

Pada tahun 2011, pemegang saham Ekspres (sebelum go public) menaruh modal di induk Ekspres sebesar Rp 206 milyar dan meraih keuntungan setelah pajak sebesar Rp 60 milyar. Ini artinya sebelum go public, pemegang saham Ekspres mendapatkan keuntungan bersih setelah pajak sebesar 29% dari modal yang ditempatkan.

Pembaca yang belajar ekonomi mungkin tahu bahwa dalam pasar yang bersaing sempurna, keuntungan para pemegang saham seharusnya sama dengan imbal hasil dari menempatkan modalnya dalam usaha lain (misalkan imbal hasil modal untuk usaha tempe akan sama dengan usaha tahu). Mari kita ambil rata-rata imbal hasil tahunan IHSG selama 10 tahun terakhir, kira-kira 15-16%, sebagai patokan. Imbal hasil yang melebihi angka tersebut dapat dianggap sebagai rente yang didapatkan perusahaan.

Apabila kita memakai return IHSG sebagai patokan, ini berarti keluarga pemilik Blue Bird mendapat keuntungan “lebih” sebesar 46-47% di tahun 2013, sedangkan keluarga pemilik Ekspres mendapat keuntungan “lebih” sebesar 13-14% di tahun 2011.

Saya tidak berani berandai lebih jauh (karena saya tidak punya data di tahun-tahun sebelumnya), namun kenyataan bahwa mereka bisa mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata saat mereka masih menjadi perusahaan tertutup mengindikasikan bahwa keluarga Djokosoetono dan Sondakh (pemilik Blue Bird dan Ekspres) meraup banyak rente dari keberadaan kartel taksi.

Kenyataan bahwa supir taksi Blue Bird dan Ekspres mendapat gaji sekitar Rp 4 juta/bulan sebelum menjamurnya taksi berbasis aplikasi, atau kurang lebih sama dengan take home pay pasaran untuk supir pribadi dan rental, mengindikasikan bahwa rente yang didapat oleh pengusaha taksi tidak dibagi (atau hanya sedikit dibagi) dengan supir taksi mereka. Dengan kata lain, the owners take it (approximately) all~

3. Pahlawan kapitalisme, Uber dan GrabCar, hanya melawan keserakahan kartel taksi

Bayangkan apabila pembaca bekerja dengan pendapatan Rp 4 juta per bulan dengan kondisi kerja yang brutal seperti supir taksi (yang harus bekerja Senin-Minggu, >80 jam per minggu). Hanya supir lama atau supir yang baru datang dari luar Jabodetabek yang mungkin bersedia diperlakukan seperti itu. Mungkin kebanyakan pengemudi taksi hanya bisa tabah, dan jangan heran apabila pelayanan mereka tidak bisa prima (terutama dengan kasus supir mengantuk, yang pernah penulis alami).

Datanglah Uber dan GrabCar, yang memungkinkan supir dan pemilik mobil untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik dengan tarif yang lebih murah dari taksi (mengingat modal awal ditanggung oleh pemilik mobil, bukan Uber). Mereka bukan bagian kartel sehingga mereka tidak perlu mengikuti harga kartel.

Kenyataan bahwa mereka belum membayar pajak membuat mereka “dituduh” diuntungkan tidak wajar, namun apabila mereka memiliki net profit margin yang sama dengan Blue Bird (kira-kira 20% dari pendapatan), dan dengan pajak korporasi sebesar 25%, secara kasar mungkin mereka hanya perlu menaikkan pendapatan kotor/tarif sebesar (100%/(100%-25%) atau sekitar 33,3% untuk mempertahankan keuntungan di level yang sama. Kenaikan tarif 33,3% pun masih membuat mereka bisa berkompetisi dengan taksi konvensional**.

Lebih jauh lagi, inovasi yang ditawarkan oleh Uber dan GrabCar, seperti cara pembayaran yang secure (lewat kartu kredit) ataupun tunai, pengemudi yang melek teknologi (menggunakan GPS alih-alih minta dipandu penumpang), serta aplikasi yang memungkinkan pengemudi dinilai oleh penumpang, juga memberi nilai tambah lebih yang tidak ditawarkan taksi berbasis aplikasi. Penumpang yang rasional secara ekonomi jelas akan lebih memilih Uber dan GrabCar (terkecuali saat terjadi surge pricing).

Di titik ini pembaca seharusnya sudah memiliki gambaran umumnya: saat ini, rente-rente pengusaha taksi, yang membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat (dan tidak sesuai semangat kapitalisme berbasis persaingan sehat) serta secara tidak langsung “menindas” supir taksi, sedang berkurang oleh kehadiran pesaing baru.

Lebih hina lagi, pengusaha taksi, yang tidak mau kehilangan rente, mencoba “menipu” supir taksi dengan menggambarkan Uber dan GrabCar sebagai pihak yang menggerus keuntungan mereka, meskipun perusahaan taksi konvensionallah yang tidak mau berinovasi, memaksakan tarif tetap tinggi, dan menolak mengurangi setoran supir taksi.

Jadi, mungkin akan lebih baik apabila supir taksi bangkit melawan perusahaan mereka, yang gagal berinovasi dan terlalu serakah untuk bersaing secara sehat dan mendorong Organda untuk menghapus tarif bawah.

Mungkin pemerintah juga bisa menjadi bijak dengan mengikuti rekomendasi KPPU untuk melarang tarif bawah serta mendorong kapitalis-kapitalis baru untuk masuk ke industri taksi yang dikuasai kartel, sehingga rente-rente dapat dihilangkan dan kesejahteraan supir dan penumpang dapat meningkat. Ya, tapi mungkin saja itu semua hanya tinggal mungkin…

CMIIW….

Notes:

[Revisi 22 Maret 2016, 21.25: ROE Blue Bird 2013 seharusny 59%, bukan 62%]

*Mengapa saya ambil ukuran sebelum IPO? Pasar modal secara umum cukup efisien dalam mengalokasikan modal (itu pasar bebas!). Apabila return on equity PT X sebelum IPO berada di, katakanlah 100%, ekspektasi pertumbuhan di masa depan 0%, serta katakanlah interest ratecost of capital = 10%, maka NPV dari saham PT X tersebut adalah 10x lipat dari par value modal disetor yang tertera di laporan keuangan, sehingga sisanya akan dimasukkan ke dalam item additional paid in capital. Jadi, setelah IPO, return on equity akan converge ke cost of capital sebesar 10%, bukan di angka awal sebesar 100%.

**saya tidak yakin mereka sekarang sudah mencapai titik untung, mengingat promosi yang masih jor-joran. Namun apabila dengan tarif normal mereka sudah untung, saya tidak yakin mereka mau menaikkan tarif sebesar 33,3%.

#PrayforJakarta and Capital Outflow Nonsense

Sebelum memulai post ini, izinkan saya mengucapkan turut berbelasungkawa bagi korban yang meninggal dunia akibat serangan bom dan baku tembak di Sarinah hari ini. Mari doakan pula agar korban yang terluka bisa pulih dan pihak berwenang dapat menangkap pelaku kejahatan yang keji ini.

Namun demikian, lagi-lagi insiden seperti ini menunjukkan betapa lebih berbahanya punya pengetahuan yang setengah-setengah dibandingkan tidak tahu sama sekali. Sudah lihat pesan ini (atau sejenisnya) di grup masing-masing? (Note: saya dapat pesan ini di banyak grup. Literally)

image1

Walaupun saya bukan tipe orang yang menggunakan tagar #prayforxxxxx dalam situasi apapun (setahu saya, Tuhan tidak mengikuti akun-akun media sosial saya), ada baiknya kita meluruskan kekeliruan bahwa tagar semacam #PrayforJakarta bisa membawa nilai tukar Rupiah ke 17.000 secara sederhana.

Tagar #PrayforJakarta tidak akan berpengaruh banyak terhadap nilai tukar atau perekonomian. There, I said it. Mengapa?

1.Investor besar secara umum tidak melihat Twitter (atau media sosial manapun) untuk mengukur risiko suatu negara

Investor yang serius dan yang memiliki pengaruh di pasar (para fund manager untuk reksadana, dana pensiun, investor individual yang kaya, etc.) menggunakan riset dari sumber-sumber yang lebih terpercaya (seperti Bloomberg, Reuters, berita lokal dari Antara, Kompas, etc.). Lagipula, mereka sangat mungkin terlalu sibuk menghasilkan uang untuk punya waktu membuka Twitter, Path, atau grup WhatsApp di jam kerja, tidak seperti anda.

2. Risiko keamanan penting, namun bom teroris seperti di Sarinah bukan merupakan ancaman yang berpengaruh secara serius terhadap perekonomian

Reputasi keamanan Indonesia mungkin akan turun menyusul bom dan baku tembak di Sarinah, namun institusi asing secara umum telah memperlakukan Indonesia sebagai negara dengan risiko keamanan sedang sejak lama. Sebagai contoh, pemerintah Inggris tidak banyak mengubah pandangan mereka terhadap risiko keamanan di Indonesia menyusul bom Sarinah.

Selain itu, apabila kejadian di Sarinah hari ini tidak berulang setiap hari (misalkan seperti teror setiap hari yang terjadi di Suriah atau Afghanistan), aktivitas ekonomi tidak akan banyak terganggu. Anda akan tetap pergi ke mall di akhir pekan, pabrik akan tetap buka, and life goes on. Investor juga sepertinya sadar akan hal ini; Rupiah turun mengikuti tren mata uang Asia lainnya (bahkan pelemahan tersebut cukup rendah mengingat hari ini Bank Indonesia menurunkan suku bunga) dan pelemahan IHSG lebih ringan dibandingkan dengan pelemahan di bursa-bursa Asia lainnya.

3. Foreign Direct Investment tidak akan ditarik karena satu bom dan trending topic.

Okay, tempatkan anda di posisi, misalkan, Honda, Schneider Electric, atau Toyota. Anda sudah keluar ratusan juta dollar untuk membangun pabrik di daerah Karawang atau Bekasi, mempekerjakan puluhan ribu karyawan, serta punya target pengiriman barang yang harus diselesaikan segera. Mungkinkah anda tutup semua produksi anda dan keluar dari Indonesia hanya karena melihat #PrayforJakarta menjadi trending topic worldwide, padahal anda tahu bahwa hal yang sama masih memiliki peluang yang sangat kecil untuk terulang kembali di masa depan dan tidak akan berpengaruh pada kemampuan produksi anda?
4. Hubungan antara arus modal keluar, tingkat tabungan, dan jumlah uang beredar dalam pesan tersebut keliru besar

Pertama-tama, jumlah uang beredar secara umum ditentukan oleh bank sentral; ia tidak dipengaruhi oleh arus modal masuk/keluar. Kalaupun kalian melihat hubungan antara arus modal masuk dengan jumlah uang beredar, itu biasanya terjadi karena bank sentral mencoba menahan nilai tukar dengan meningkatkan jumlah uang beredar agar eksportir tidak rugi (nilai tukar yang tinggi membuat eksportir tidak kompetitif). Persetan dengan pernyataan bahwa arus modal keluar meningkatkan jumlah uang beredar.

Berikutnya, peningkatan arus modal keluar seharusnya ditandai dengan penurunan investasi di dalam negeri atau peningkatan jumlah tabungan nasional, jadi pernyataan bahwa arus modal keluar menurunkan jumlah tabungan nasional sangatlah absurd.

[Secara teknis, persamaan identitas arus modal keluar adalah (X-M) = (S-I), atau net export (NX) = net capital outflow (NCO). Dalam dunia nyata, NX merepresentasikan neraca transaksi berjalan/current account, dan NCO merepresentasikan neraca arus modal/financial account, sehingga current account = financial account pada balance of payment]

Dengan demikian, saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan bahwa corollary dari pernyataan-pernyataan absurd di atas terang-terangan salah. Sebagai tambahan perspektif, pelemahan ke 17.000 adalah sekitar 18%, kira-kira mirip dengan pelemahan Rupiah tahun lalu hingga ke titik terendahnya di bulan Oktober. Ini artinya bom Sarinah (yang terbatas dampaknya di daerah Jakarta Pusat) punya efek yang sama terhadap ekonomi Indonesia dengan pelemahan ekonomi China (10x lipat Indonesia) dan Amerika Serikat (>15x lipat Indonesia) digabung. Kurang masuk akal.

Lebih absurd lagi pernyataan bahwa jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga naik secara bersamaan, sehingga menyebabkan gagal bayar. Demand and supply, people! Kenaikan penawaran akan menurunkan harga, dalam kasus ini suku bunga. Mungkin saja keduanya naik bersamaan, tapi ini artinya terjadi kenaikan permintaan kredit, yang berarti tagar #PrayforJakarta membuat orang ingin berbelanja, membeli rumah/mobil, dan membangun pabrik (???).

Gagal bayar? Inflasi? Krisis? Nonsense. Biasakan kritisi pesan yang anda terima di jejaring sosial anda. Silakan pasang tagar #PrayforJakarta tanpa takut bahwa anda akan membuat Rupiah naik ke 17.000, walaupun saya tidak menyarankan hal tersebut, mengingat Tuhan tidak follow akun medsos anda.

Lain Penyakit, Lain Obat: Impor Beras

Apakah impor beras adalah penyebab masalah defisit beras di Indonesia, sehingga perlu dibatasi?

Summary: masalah defisit beras di Indonesia terjadi karena masalah rantai pasokan (supply chain) yang buruk dan konsumsi berlebihan, bukan karena serangan beras impor. Impor beras hanya gejala dari masalah tersebut, sehingga pembatasan impor tidak akan efektif dan bisa berbahaya. Sama seperti mengobati sakit kepala akibat darah tinggi dengan paracetamol.

.

Saya seringkali takjub dengan betapa jarangnya logika sederhana dipakai dalam pembahasan isu-isu yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Seakan-akan hanya dengan menyisipkan frase “demi rakyat”, anda dapat membenarkan kebijakan yang miskin logika.

Untuk membuktikan pernyataan saya di atas, mari kita lihat persoalan publik yang terus berulang selama bertahun-tahun, yaitu masalah impor beras.

Selama ini, terjadi ketakutan mengenai “serangan” beras impor dari luar negeri, misalkan dari Thailand atau dari Vietnam. Narasi umumnya adalah: “Indonesia negara agraris, kok impor beras”

Kekhawatiran umum masyarakat adalah bahwa beras impor membuat beras lokal tersingkir, mematikan penghidupan petani, dan membuat kita diperbudak oleh beras Thailand atau Vietnam yang saat ini lebih murah. Dengan demikian, adalah wajar, toh, kalau pemerintah membatasi impor beras?

Masalah utama dari logika (atau ketiadaan logika) pembatasan impor beras dapat dirangkum dalam pertanyaan berikut: apa yang ingin kita capai dengan membatasi impor beras?

Mari kita lihat beberapa jawaban umum yang digunakan untuk membenarkan impor beras:

  1. Untuk mempertahankan kedaulatan pangan Indonesia
  2. Untuk memastikan agar petani lokal tidak tersingkirkan dengan beras asing
  3. Untuk mendorong produksi pangan nasional

Tanggapan saya? Bullshit. Utter nonsense.

Mari kita lihat pola produksi dan konsumsi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir. Saya mendapat data produksi beras lewat BPS (data produksi GKG, dikali faktor konversi GKG ke beras sebesar 58%), sedangkan saya menghitung data konsumsi dengan menggunakan data konsumsi beras per kapita dari University of Arkansas serta data penduduk BPS.

Production (ton)

Consumption (ton)

2014

41,090,949.70

37,527,360.00

2013

41,342,231.22

37,173,422.65

2012

40,052,553.08

36,740,159.03

2011

38,139,004.32

36,298,610.40

2010

38,552,248.52

35,825,521.81

Jelas bahwa produksi beras nasional lebih besar dibanding konsumsi beras nasional, sehingga masalah ketahanan pangan seharusnya tidak menjadi masalah. Namun kalau anda lihat masalah beras di Indonesia, perubahan permintaan dan pasokan beras seringkali tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Biasanya, terjadi surplus beras di tingkat petani pada saat panen, sehingga harga menjadi sangat murah dan membuat petani kehilangan keuntungan yang signifikan. Di luar masa panen, harga beras merangkak naik karena petani sedang tidak panen beras, yang membuat pemerintah merespon dengan menaikkan kuota beras impor. Atau mungkin beras yang diproduksi di dalam negeri banyak yang menjadi tidak layak akibat proses penyimpanan yang tidak layak. Atau mungkin beras yang diproduksi di suatu daerah surplus beras tidak sampai ke daerah defisit beras akibat jalan rusak atau kapal yang saking kecilnya tidak dapat melintasi laut saat terjadi badai.

Lebih jauh tentang masalah rantai pasokan, kita semua sudah tahu bahwa pergerakan barang di Indonesia sangat tidak efisien dan mahal. Beberapa contoh anekdot yang sering dipakai adalah bahwa pengiriman jeruk dari Pontianak jauh lebih mahal dibandingkan pengiriman jeruk dari Shanghai. Rantai pasokan yang tidak efisien, ditambah dengan jumlah perantara yang banyak dari petani hingga ke konsumen, mendorong selisih harga yang diterima petani dan dibayarkan konsumen menjadi tinggi dan mengurangi keuntungan petani. Petani yang untungnya sedikit tidak akan bisa investasi dalam peralatan modern dan meningkatkan produktivitas.

Apa yang bisa kita simpulkan sejauh ini? Masalah kekurangan beras lebih diakibatkan oleh masalah rantai pasokan (supply chain) beras yang tidak baik. Apabila proses pengiriman dan penyimpanan dapat berjalan minim hambatan, mungkin kekurangan beras yang terjadi secara temporer dan terbatas di beberapa daerah tidak perlu terjadi. Namun apakah pembatasan impor dapat menyelesaikan keterbatasan beras temporer akibat rantai pasokan beras yang tidak efisien? Tidak.

Atau mungkin saja data produksi tersebut terlalu optimistis. Bisa jadi memang produksi beras di Indonesia kurang. Tapi jangan lupa bahwa produksi puluhan juta ton bisa tetap kurang karena konsumsi yang terlalu tinggi, bukan karena produksi yang terlalu rendah. Apa buktinya? Anda bisa lihat data dari University of Arkansas tentang konsumsi beras per kapita beberapa negara. Secara rata-rata, orang Indonesia mengonsumsi beras sebanyak 148.8 kg per tahun. Bandingkan dengan Malaysia, yang memiliki tradisi kuliner paling mirip dengan Indonesia, yang hanya mengonsumsi beras sebanyak 90,7 kg per tahun, atau orang Filipina, sebesar 118,6 kg per tahun. Toh konsumsi beras mereka yang lebih kecil tidak membuat mereka kelaparan, kan? Apabila konsumsi beras per kapita Indonesia sama dengan Malaysia, Indonesia akan memiliki tambahan kelebihan beras sebesar +/- 14 juta ton, yang bisa dengan mudah menjadikan Indonesia eksportir beras terbesar di dunia! Lain kali anda pergi ke warteg dan mengambil nasi segunung, ingatlah bahwa andalah yang bertanggung jawab atas defisit beras, bukan masuknya beras impor.

Kita bisa melihat bahwa masalah beras adalah seumpama seorang anak rakus yang suka jajan di luar rumah. Walaupun di rumah anak tersebut banyak tersedia nasi, ayam, sapi, serta sayur dan buah, ternyata pembantu di keluarga tersebut tidak bisa memasak. Sang ibu, yang marah ketika tahu bahwa anak tersebut tidak makan di rumah dan malah jajan 10 porsi nasi goreng setiap harinya, memutuskan untuk mengurangi uang jajan anak tersebut agar dia tidak jajan di luar dan mau makan di rumah. Apakah dengan mengurangi uang jajan otomatis membuat anak tersebut mau makan di rumah? Tidak, karena tidak ada yang masak di rumah!

Sama seperti anak tersebut, hal yang perlu anda ingat adalah bahwa keberadaan beras impor adalah gejala dari masalah beras di Indonesia, bukan penyebab dari masalah defisit beras di Indonesia. Larangan/pembatasan impor beras tidak akan mengatasi masalah apabila terjadi defisit beras di Indonesia, dan tidak diperlukan apabila terjadi surplus beras di Indonesia (buat apa impor dalam jumlah besar apabila beras dalam negeri berlimpah?).

Lagipula, impor beras yang terbuka dapat meredam gejolak harga di dalam negeri; apabila terjadi kekurangan produksi dalam negeri secara serius, harga tidak akan naik tajam karena pasar akan langsung bereaksi dengan menambah pasokan beras impor. Saya benci mengatakan hal ini, namun lebih baik kalau 26 juta rumah tangga pertanian berkurang keuntungannya akibat harga beras yang stagnan dibanding 250 juta orang Indonesia, banyak di antara mereka adalah orang miskin perkotaan, yang harus menderita karena harga beras tidak terjangkau terkait pembatasan impor*.

Apabila anda tahu bahwa pembatasan impor beras tidak efektif dan malah berbahaya, apa gunanya anda menyalahkan impor beras apabila defisit beras itu adalah akibat ketidakbecusan serta kerakusan anda sendiri?

Karena lebih mudah untuk menyalahkan serangan asing dibanding bercermin dan membenahi diri sendiri, bukan?

.

.

*) Ingat bahwa kalau anda ingin ada beras raskin yang cukup dan dapat disediakan secara massal bagi rakyat miskin, anda harus punya beras terlebih dahulu. Subsidi sebesar apapun dari pemerintah tanpa stok beras, yang mungkin harus diimpor, akan percuma.

**) Ilustrasi petani oleh Brad Collis

Memahami Pelemahan Rupiah (Secara Benar)

Penjelasan sederhana (namun panjang) mengenai pelemahan Rupiah, dan mengapa kita perlu waspada, namun tidak panik

(Revisi 25/8, 9.53: beberapa orang menganggap bahwa masalah reaksi berlebihan (a.k.a. lebay) pasar perlu diperjelas di artikel ini. Tambahan tulisan berwarna biru)
(Revisi 25/8, 21:13: memperjelas bahwa industri yang terkena cacat bawaan adalah industri yang diproteksi dari persaingan dengan produk luar negeri. Beberapa industri yang tidak diproteksi malah seringkali dihambat dengan penegakan hukum yang lemah dan regulasi yang berbelit)

Oke, jadi kemarin sore kurs Rupiah terhadap Dollar AS untuk pertama kalinya tutup di atas 14.000. Seperti biasa, banyak orang yang tidak mengerti dasar-dasar ilmu ekonomi mulai bicara seolah-olah tahu apa duduk perkara pelemahan Rupiah.

Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita semua: mengapa bisa kurs Dollar AS (selanjutnya USD) terhadap Rupiah (selanjutnya IDR) mencapai 14.000? Salah siapakah sehingga Rupiah bisa loyo? Apa yang akan terjadi?

Dan seperti biasa, setelah kita bertanya-tanya, pemerintah menjadi pihak pertama yang langsung disalahkan atas pelemahan Rupiah (ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar). Kemudian reaksi berikutnya beragam: pesimis terhadap nasib ekonomi Indonesia, atau mulai menuduh pasar bebas, investor asing, bahkan mungkin orang Yahudi, Freemason, dan Illuminati. Lalu kemudian muncul reaksi anti-asing (asing aseng), atau reaksi lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan logika dasar ekonomi.

Dengan demikian, sebelum penulis mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang pelemahan Rupiah, kita harus mengkritisi pemikiran dasar dari kebanyakan kita: bahwa Rupiah yang lebih kuat adalah selalu baik, dan Rupiah yang lebih lemah adalah selalu jelek. Apakah benar demikian? (Penulis akan bahas masalah ini belakangan, jadi baca dulu lebih lanjut :))


Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah
Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?
Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan Indonesia?


Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah

Kita mulai narasi kita dengan melihat apa yang terjadi di luar batas negara Indonesia.

September ini, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, akan menentukan tingkat suku bunga acuan untuk Dollar Amerika Serikat. Dengan semua petunjuk yang telah diberikan oleh Federal Reserve, kebanyakan pelaku pasar berpendapat bahwa tingkat suku bunga USD akan naik, dari 0% menjadi 0.25%. Karena suku bunga adalah harga dari uang, cara Federal Reserve untuk menaikkan harga uang tersebut adalah dengan menurunkan jumlah uang beredar (ingat, ketika penawaran suatu barang turun, maka harga barang akan naik). Apa akibatnya? Kalau jumlah USD yang beredar turun, namun jumlah mata uang yang lain (misalkan Rupiah, Ringgit, Rand, atau Reais) tetap, maka nilai USD akan meningkat (lagi-lagi, kalau penawaran suatu barang turun, harga akan naik).

Lalu mungkin kita bertanya-tanya, kok suku bunga Amerika Serikat naik bisa membuat semua orang heboh?

Itu semua karena Amerika Serikat adalah perekonomian terbesar di dunia. 20% dari seluruh barang dan jasa di dunia diproduksi di Amerika Serikat, dan USD adalah mata uang de facto perdagangan internasional. Bayangkan kalau misalkan kalau misalkan seekor gajah sedang mencoba masuk ke kolam renang yang kecil. Meskipun gajah tersebut masuk perlahan-lahan ke kolam renang, ombak yang diciptakan akan tetap besar. Begitu juga dengan Amerika Serikat.

Kemudian muncul China.

Kalau Amerika Serikat, sang perekonomian terbesar, adalah konsumen terbesar dunia (sejak dahulu menjadi buyer of the last resort), China kurang lebih adalah pabrik terbesar dunia. China membeli banyak barang mentah atau setengah jadi dari seluruh negara di dunia, dari Brazil hingga Rusia. Bayangkan kalau misalkan ekonomi China melambat, sehingga China mengurangi belanja barang mentah atau setengah jadi dari tiap negara, termasuk Indonesia. Perlambatan ekonomi China tentu akan menurunkan ekspor dari tiap-tiap negara di dunia, termasuk Indonesia.

Apa yang terjadi kalau ekspor melemah?

Perlu diketahui bahwa ekspor adalah salah satu sumber utama penerimaan mata uang asing, terutama USD. Jadi, ekspor dapat digunakan untuk mewakili supply (penawaran) USD di Indonesia. Kebalikannya, karena biaya impor dibayar dengan USD, maka impor dapat digunakan untuk mewakili permintaan USD. Kalau misalkan ekspor turun, maka penawaran USD akan turun, dan (lagi-lagi), harga USD akan naik.

Efek dari pelemahan ekonomi tersebut ditambah dengan kejutan tiba-tiba dari Beijing, yaitu pelemahan nilai Renminbi terhadap Dollar (walaupun tidak lebih dari 3%) secara tiba-tiba. Walaupun mungkin terkesan kecil, aksi ini memberi sinyal kepada pasar bahwa pelemahan ekonomi China ternyata jauh lebih serius dari yang kita duga selama ini.

Screen Shot 2015-08-24 at 11.09.34 PM

Analogi sederhana untuk menggambarkan kondisi saat ini di dunia adalah bahwa ada seekor gajah yang hendak masuk ke kolam kecil dengan pelan-pelan (Amerika Serikat) dan ada seekor gajah lain di tepi kolam yang pingsan dan jatuh ke kolam kecil yang sama (China). Ombaknya (efek negatif ke dunia) akan sangat sangat besar dan sangat tidak mengenakkan.

Butuh bukti bahwa pelemahan ini adalah fenomena global?

Screen Shot 2015-08-24 at 8.47.50 PM

Grafik di atas adalah pelemahan beberapa mata uang eksportir komoditas di dunia (Indonesia, Malaysia, Brazil, Kolombia, dan Rusia) selama sebulan terakhir. Grafik pelemahan Rupiah adalah yang berwarna oranye. Indonesia bahkan bukan yang paling buruk di antara hampir semua negara yang melemah terhadap USD.

Lalu kita mungkin bertanya: kan Federal Reserve baru akan beraksi di bulan September dan pelemahan ekonomi China belum terlihat secara nyata di data ekonomi, lalu mengapa sudah melemah?

Jawabannya adalah kebanyakan pelaku pasar sudah memiliki ekspektasi terlebih dahulu akan adanya pelemahan besar-besaran di seluruh dunia, dan mereka mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum China ataupun the Fed mengambil aksi. Kalau menunggu aksi China atau the Fed, pelaku pasar akan merugi sangat besar (siapa cepat, dia untung).

Tapi perlu disadari bahwa semua pelemahan yang terjadi karena China dan the Fed diperparah oleh pasar yang bereaksi berlebihan. Perlu anda ketahui bahwa para investor (bahkan yang profesional) di sektor keuangan sangat mirip dengan ABG yang labil dan lebay, yang suka bereaksi berlebihan ketika ada berita baik atau buruk muncul. Sebagai akibatnya, ketika rumor buruk mengenai China dan the Fed muncul, mereka menarik uang dari negara berkembang (mengurangi supply USD) secara besar-besaran, jauh lebih besar dari yang seharusnya bila mereka bersikap tenang. Jadi, jangan heran bahwa sentimen buruk apapun dapat membuat pasar gonjang ganjing seperti kemarin kalau anda tahu bahwa orang-orang yang ada di pasar kebanyakan labil dan lebay.


Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?

Daritadi penulis hanya memaparkan faktor luar negeri, namun apakah tidak ada faktor dalam negeri yang menyebabkan Rupiah melemah?

Jawabannya sudah jelas tentu, namun mungkin tidak seperti yang kita bayangkan.

Kita bisa bagi faktor pelemahan dalam negeri dalam dua jenis: cacat bawaan dari pemerintahan sebelumnya, dan kesalahan yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi.

Cacat bawaan Indonesia merupakan faktor serius yang memperparah efek dari China dan Amerika Serikat. Tapi apa saja cacat bawaan Indonesia?

  1. Pola pembangunan dari zaman dahulu yang fokus ke industri ekstraktif, sehingga tergantung pada ekspor komoditas
    Pendeknya, kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah kutukan Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan Indonesia sangat bertumpu pada sektor pertambangan atau tanaman perkebunan (minyak, batubara, kelapa sawit), yang juga menjadi tumpuan ekspor Indonesia. Tanpa perlu membangun infrastruktur yang efisien atau memberdayakan manusia Indonesia lewat pendidikan yang mampu bersaing di pasar internasional pun ekonomi Indonesia bisa tumbuh. Sebagai akibatnya, sektor yang memerlukan SDM yang kuat, seperti industri elektronik maupun industri-industri canggih (yang bernilai tambah tinggi dan tidak terlalu terpengaruh pelemahan China), tidak bisa berkembang.
  2. Industri yang terlalu dimanja pemerintah dan kurang berdaya saing, sehingga makin tergantung pada ekspor komoditas
    Kalau kita melihat pola industri di Indonesia, bahkan setelah 70 tahun merdeka, masih banyak industri yang ingin dilindungi pemerintah dari persaingan dengan produk luar negeri. Anda mungkin menganggap hal itu perlu, tapi tidakkah anda curiga ketika berbagai industri, dari pertanian hingga manufaktur, terus menerus minta dilindungi dari persaingan dengan alasan belum mampu bersaing? Seharusnya kalau memang alasannya demikian, akan datang saatnya ketika industri sudah maju dan bisa dibiarkan bersaing di kancah internasional. Namun sayangnya, kecenderungan industri ketika diproteksi adalah bahwa industri tersebut mampu meraih keuntungan tanpa melakukan inovasi atau melakukan efisiensi, sehingga kalau dilepas, memang tidak akan mampu bersaing. Jadi, perlindungan dari persaingan asing malah hanya membuat industri dalam negeri tidak efisien

Anda bisa bayangkan cacat bawaan Indonesia, yaitu industri yang diproteksi dari persaingan dengan pihak asing. mirip seperti anak orang kaya yang manja dan tidak pernah dipaksa untuk belajar atau bekerja (karena toh sudah kaya, buat apa belajar/bekerja). Ketika sudah besar, anak tersebut tidak mampu bersaing dengan anak orang-orang biasa yang belajar dan bekerja keras, sehingga minta perlindungan dari orangtua yang kaya. Apakah pada akhirnya anak ini bisa bertahan? Jawabannya hampir pasti tidak.

Jadi, selama Indonesia bergantung pada ekspor komoditas (terutama ke China), jangan heran kalau pelemahan ekonomi China (yang mengurangi permintaan komoditas ekspor Indonesia) bisa melemahkan Rupiah dan ekonomi Indonesia.

Tapi jangan lupa bahwa ada juga cacat yang merupakan akibat pemerintahan Jokowi. Apa saja?

Pemerintah Jokowi, yang diharapkan mampu membawa reformasi pada tata kelola ekonomi Indonesia, ternyata tidak mau mengambil keputusan yang sulit. Sebagai contoh, setelah mencabut subsidi, ketika harga minyak naik mulai bulan Maret 2015, pemerintahan Jokowi memaksa Pertamina untuk menanggung kerugian dari menjual Pertamina di harga Rp 7.400/liter. Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai mengintervensi mekanisme pasar yang tidak pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, seperti memaksa Jasa Marga menurunkan tarif tol saat periode Idul Fitri, atau secara tiba-tiba memotong kuota impor sapi secara drastis.

Anda mungkin heran mengapa hal-hal tersebut dapat menyebabkan Rupiah melemah, tapi anda bisa lebih mengerti kalau anda berada di posisi investor asing (yang membawa dollar ke Indonesia).

Adanya intervensi oleh pemerintah bisa mengacaukan hitungan untung rugi seorang investor secara signifikan. Sebagai contoh, kalau misalkan investor jalan tol bisa untung di tarif Rp. 5.000, tetapi investor tahu bahwa ia bisa dipaksa pemerintah untuk menurunkan harga ke Rp. 3.000, ini adalah sebuah risiko bagi investor tersebut. Dan walaupun anda bukan investor jalan tol, importir sapi, atau pengusaha minyak, kenyataan bahwa pemerintah bisa dengan sesuka hati menaikkan atau menurunkan harga di luar harga keekonomian akan menambah risiko anda. Belum lagi kalau pemerintah mulai menunjukkan sentimen anti-asing, investasi anda (sebagai investor asing) bisa lenyap karena kebijakan pemerintah di masa depan bisa menjadi tidak bersahabat dengan investor asing.

Hal-hal tersebut adalah peningkatan risiko berinvestasi di Indonesia. Tambahkan hal itu dengan gonjang-ganjing politik yang tidak perlu (misalkan selisih pendapat antara Rizal Ramli, Rini Soemarno, dan Jusuf Kalla), maka risiko yang harus anda tanggung menjadi sedemikian besar. Buat apa anda investasi di Indonesia kalau risiko rugi anda sedemikian besar? Lebih baik anda taruh dollar anda di Filipina, Vietnam, atau Ethiopia.

Lagi-lagi, ketakutan untuk berinvestasi di Indonesia makin mengurangi supply USD di dalam negeri dan makin menekan Rupiah.


Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan Indonesia?

Seperti halnya segala sesuatu di dunia, pelemahan Rupiah dapat dibagi menjadi pelemahan Rupiah yang baik serta pelemahan Rupiah yang buruk.

Secara teori, pelemahan Rupiah dapat memperbaiki kinerja ekspor serta menurunkan impor. Bila demikian adanya, pelemahan Rupiah dapat menjadi sesuatu yang baik, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa pasca-2008 berlomba melemahkan mata uang agar bisa mendorong pertumbuhan.

Namun kalau kita melihat data, maka kita bisa lihat bahwa ekspor dan impor Indonesia sama-sama turun seiring dengan pelemahan Rupiah, walaupun pelemahan impor jauh lebih tajam sehingga kondisi neraca transaksi berjalan lebih baik (ditunjukkan dengan selisih antara ekspor dan impor yang menjadi positif). Mengapa pelemahan Rupiah tidak meningkatkan ekspor, yang akhirnya mendorong pertumbuhan dan menstabilkan  Rupiah?

Lagi-lagi, jangan lupa bahwa komoditas ekspor unggulan Indonesia bukanlah barang yang relatif imun dengan pelemahan ekonomi di China dan dunia, seperti semikonduktor, komputer, komponen kendaraan bermotor, atau industri manufaktur (semuanya tidak terlalu tergantung kepada China karena permintaan di negara-negara lain tetap besar). Harga dan jumlah ekspor unggulan Indonesia, yaitu batubara dan kelapa sawit, sangat tergantung kepada China. Hal ini menyebabkan pelemahan Rupiah tidak terlalu banyak berdampak positif terhadap ekspor.

Lagipula, jangan lupa bahwa sekitar >90% impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal, yang juga digunakan oleh industri manufaktur untuk membuat komoditas yang selanjutnya akan diekspor (bagian dari global supply chain). Kenaikan harga barang baku (yang diimpor) akibat USD yang naik akan membuat kenaikan daya saing (yang seharusnya meningkat) menjadi tidak seberapa. Kombinasi penurunan permintaan komoditas ekspor Indonesia dan bahwa kita butuh impor bahan baku untuk bisa melakukan ekspor membuat pelemahan USD berpotensi melemahkan ekspor lebih lanjut dan mendorong perlambatan ekonomi.

Sebagai akibatnya, mungkin Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi yang cukup serius hingga 2016 atau bahkan 2017. Namun kalian yang berharap bahwa krisis 1997/1998 akan terulang sangat mungkin akan kecewa. Mengapa?

Pertama, Rupiah sudah bergerak bebas. Efek dari pergerakan bebas Rupiah adalah bahwa pelaku usaha mengetahui bahwa ada risiko nilai tukar yang bisa merugikan bisnis mereka, dan mengambil langkah antisipasi sejak dini. Bank serta perusahaan-perusahaan, walaupun masih banyak berhutang dalam USD, menjadi lebih cerdas dan sudah melindungi diri dengan FX swap sejak dini. Jelas bahwa akan muncul gelombang gagal bayar, namun tidak akan memiliki dampak sebesar 1998.

Kedua, tata kelola bank saat ini lebih baik dibanding 1998. Pada tahun 1998, banyak bank merupakan anggota dari sebuah konglomerasi bisnis, serta sering disalahgunakan sebagai sumber pendanaan murah bagi kegiatan anggota dari grup bisnis tersebut tanpa memikirkan risiko usaha. Walaupun standar penyaluran kredit masih bisa diperbaiki, anda harus mengakui bahwa krisis 1998 memberi banyak pelajaran berharga bagi para bank untuk makin hati-hati dalam meminjamkan uang.

Ketiga, tata kelola belanja pemerintah sudah lebih baik dibanding 1998. Pemerintah sudah menerapkan batas defisit anggaran pada 3% PDB setelah krisis 1998, sehingga risiko gagal bayar masih sangat rendah. Lagipula, pemerintah saat ini lebih banyak membiayai belanjanya dari penerimaan pajak (terutama pajak pendapatan) serta penerbitan surat berharga di dalam negeri, yang lebih aman dibandingkan penerimaan royalti tambang atau pinjaman bilateral luar negeri seperti di zaman sebelum krisis 1998

Anda yang memerhatikan pergerakan nilai tukar akan sadar bahwa Rupiah sebenarnya telah melemah dari posisi tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu di kisaran Rp 8.500 pada sekitar tahun 2011 hingga ke Rp 14.000 pada hari ini. Skala pelemahan yang sama (pelemahan 40%) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi 1998, di mana Rupiah melemah dari posisi sebelum kerusuhan Mei 1998 (di atas Rp. 8.000) hingga ke titik nadir, yaitu Rp. 16.000 (dalam kurang dari 3 bulan). Kenyataan bahwa anda mungkin baru sadar hari ini bahwa Rupiah telah melemah hampir 40% dalam 4 tahun, serta pertumbuhan yang masih positif (walaupun melemah), menunjukkan bahwa hal yang paling menentukan efek dari pelemahan nilai tukar bukanlah nilai absolut pelemahan, namun seberapa cepat sebuah mata uang melemah.

Sebagai penutup, kita harus ingat bahwa pelemahan Rupiah kali ini adalah pelemahan yang serius dan berpotensi berdampak buruk bagi perekonomian. Namun demikian, kalau kita tidak tahu apa yang menyebabkan Rupiah melemah dan langsung loncat ke dalam aksi saling tuduh, kita sama sekali tidak membantu memulihkan kondisi perekonomian.

Kita harus bersiap menghadapi pelemahan, namun jangan lupa bahwa pelemahan kali ini mungkin merupakan sebuah peringatan yang “halus” bagi Indonesia untuk tidak terlena dengan kekayaan sumber daya alam (yang ternyata bisa jadi kutukan) dan mulai mengalihkan fokus, di jangka panjang, pada sektor yang bernilai tambah lebih tinggi (yang memerlukan manusia berkualitas) dan tidak terlalu terpengaruh krisis.

Semoga keadaan buruk seperti ini bisa membawa kebijakan dan respons yang baik. Semoga.


Catatan:

Beberapa pembaca mungkin akan memprotes penulis karena terlalu menyederhanakan banyak aspek dalam penjelasan mengenai pelemahan Rupiah. Pertama, tidak ada penjelasan mengenai exchange rate overshooting. Berikutnya, tidak ada penjelasan mengenai pelemahan nilai tukar sebagai self-fulfilling prophecy, yang merupakan corollary dari herd behaviour (ya, pasar tidak selalu rasional) para investor saat ini bersentimen sangat negatif terhadap semua kelas aset di negara berkembang. Kemudian, tidak ada penjelasan bahwa hubungan terbalik antara nilai tukar dan net export hanya akan terwujud apabila perekonomian tersebut memenuhi Marshall-Lerner condition. Atau ketiadaan penjelasan mengenai aksi China yang menimbulkan currency war atau kebingungan mengenai kebijakan ekonomi China. Penyederhanaan juga dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara kebijakan moneter eksternal serta peningkatan risiko internal terhadap real exchange rate; model yang benar seharusnya menggunakan model Mundell-Fleming. Lalu mengapa penulis tetap menggunakan penjalasan yang terlalu sederhana?

Memang penjelasan penulis tidak seakurat yang seharusnya, tapi mengingat bahwa artikel ini ditujukan untuk pembaca awam, sangat penting untuk menyederhanakan penjelasan sedemikian hingga pembaca tanpa latar belakang ekonomi dapat mengerti.

Mengapa Harga Tidak Turun (Sesat Pikir Aksi 20 Maret 2015)

Menyigi tuntutan dalam aksi 20 Maret 2015

[Sebelum membaca lebih lanjut, pembaca yang budiman perlu mengingat bahwa penulis adalah orang yang sangat tidak tertarik pada muatan-muatan politik dan hanya tertarik membedakan fakta dari fantasi]

(Update 20/3, 21.21: terdapat beberapa kata yang kurang lengkap dan harus ditambahkan)
(Update 20/3, 23:46: terdapat kesalahan penulisan pada paragraf {Tuntutan nomor (4)….}, premis kedua menyebabkan premis pertama, seharusnya premis pertama menyebabkan premis kedua)
(Update 21/3, 09:49: mengganti frase “reformasi birokrasi” menjadi “pemberantasan mafia”, karena pengertian yang pertama terlalu sempit, serta memperjelas bagian proof by contradiction)

Ada banyak alasan untuk tidak datang dalam aksi 20 Maret yang diselenggarakan oleh para kawan-kawan mahasiswa aktivis. Pertama, seperti layaknya aksi pada umumnya yang diselenggarakan di ruang terbuka selama berjam-jam di siang hari, aksi 20 Maret dapat menyebabkan kenaikan risiko kanker kulit. Mungkin bisa diatasi dengan penggunaan krim tabir surya, namun mengoleskan tabir surya di tengah aksi akan terkesan sangat aneh. Berikutnya, cuaca akhir-akhir ini sangat panas dan akan sangat sulit untuk pergi ke Starbucks terdekat untuk membeli Frapuccino® saat melakukan aksi. Ketiga, pergi dan pulang ke pusat kota akan sangat macet dan menghambur-hamburkan bensin yang kini tidak disubsidi lagi oleh negara.

Oke, mungkin penulis terkesan seperti a**hole, namun penulis percaya bahwa apabila sebuah panggilan aksi didasarkan pada sesuatu yang penting dan mendesak, kita para calon elit-elit bangsa yang masih memiliki idealisme dapat mengatasi ketidaknyamanan à la kelas menengah ngehe seperti yang disebutkan di atas untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Namun apakah tuntutan-tuntutan dalam aksi 20 Maret 2015 adalah penting dan mendesak? Mari kita kaji…

Ada 4 tuntutan yang diserukan dalam aksi 20 Maret 2015, yaitu:

1. Perkuat KPK sebagai Lembaga Pembawa Gerbang Rezim Anti-Korupsi
2. Reformasi POLRI demi Terwujudnya Kepolisian yang Bebas KKN
3. Bersihkan Demokrasi dari Oligarki
4. Turunkan Harga dengan Memberantas Mafia

Penulis tidak akan membahas tuntutan nomor (1), (2), dan (3) karena penulis mengetahui batasan pengetahuan sendiri. Namun demikian, penulis sangat terganggu dengan tuntutan nomor (4) yang menyuarakan penurunan harga dengan pemberantasan mafia.

Really, people?

Tuntutan nomor (4) bisa diubah menjadi kalimat berikut: jika kita memberantas mafia, maka kita dapat menurunkan harga. Ada dua premis dalam tuntutan nomor (4); premis pertama adalah memberantas mafia (premis X) dan premis kedua adalah menurunkan harga (premis Y). Menurut logika berpikir para kawan-kawan aktivis, premis pertama menyebabkan premis kedua, atau dalam bahasa logika formal: jika X maka Y (X → Y). Dengan demikian, kita bisa melakukan proof by contradiction untuk membuktikan kesahihan logika berpikir kawan-kawan aktivis 20 Maret.

Premis I: …..dengan memberantas mafia (terdapat cara untuk memberantas mafia)

Pertama, kita perlu meluruskan pengertian mafia dalam kasus ini. Terdapat pergeseran makna ketika mafia diserap dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris lalu ke bahasa Indonesia. Dalam bahasa aslinya (Italia dengan dialek Sisilia), mafia diserap dari bahasa Arab untuk menyombongkan diri (bragging). Mafia kemudian digunakan sebagai julukan bagi sindikat penjahat keturunan Italia-Amerika yang terorganisasi. Dalam konteks Indonesia, mafia digunakan sebagai kata yang melingkupi semua jenis kegiatan pihak-pihak (biasanya elit-elit swasta atau pemerintahan) yang terorganisasi dan merugikan rakyat banyak (biasanya lewat korupsi atau kegiatan memburu rente). Kita tertarik untuk melihat apakah premis pertama, yaitu terdapat mekanisme bagi masyarakat madani untuk memberantas mafia, adalah benar. Secara singkat, ya, terdapat mekanisme untuk memberantas mafia di Indonesia dalam bentuk apapun. Terdapat kasus paling menonjol dalam rekayasa sosial menuju pemerintahan yang bersih dan efektif, yaitu Singapura di era Lee Kuan Yew. Singkatnya, premis I adalah benar.

Premis II: Kita menurunkan harga…. (terdapat cara untuk menurunkan tingkat harga umum)

Konsekuensi dari premis menurunkan harga adalah bahwa kita ingin menciptakan deflasi (atau anti-inflasi). Apakah deflasi mungkin terjadi di Indonesia dengan kondisi yang ada sekarang? Dalam teori ekonomi, terdapat dua cara untuk menurunkan tingkat harga secara umum, yaitu menurunkan belanja di seluruh Indonesia atau meningkatkan produksi semua pelaku usaha di Indonesia.

Mungkinkah kita menurunkan belanja seluruh Indonesia? Bila ya, apa dampaknya?

Terdapat tiga jenis belanja yang bisa dikurangi, yaitu belanja konsumsi, belanja modal, dan belanja pemerintah. Apabila kita mengurangi belanja konsumsi (bisa dengan menaikkan pajak atau meningkatkan bunga pinjaman), maka harga bisa turun, namun berkurangnya konsumsi masyarakat akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sangat tidak mungkin kesejahteraan seorang buruh meningkat apabila ia harus mengurangi makannya dari 3x sehari menjadi 2x sehari. Apabila kita mengurangi belanja modal (dengan menaikkan bunga pinjaman), maka perusahaan tidak bisa menambah dan mengganti pabrik, mesin, truk, alat berat, atau melakukan pelatihan karyawan dan penelitian/pengembangan. Hasil akhirnya? Jumlah produksi barang di masa depan akan turun, yang akan menggagalkan rencana anda untuk menurunkan harga (belanja turun, produksi turun = harga sama saja).

Apabila kita mengurangi belanja pemerintah, maka dampaknya akan sama luasnya. Kita tidak dapat membangun pelabuhan, bandara, jalan, atau rel KA, memperbaharui alutsista, menambah jumlah guru, mendanai pelestarian budaya, mendanai fungsi KPK, dst. Khusus belanja infrastruktur, pengurangan belanja pada pos ini akan membuat peningkatan kapasitas produksi secara signifikan di Indonesia menjadi mustahil. Kesejahteraan masyarakat dan produktivitas perusahaan akan turun bersama turunnya belanja pemerintah.

…….harga hampir tidak mungkin turun, kecuali apabila kita ingin kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan turun.

Kalau menurunkan belanja terkesan tidak mungkin (atau tidak mungkin relatif terhadap tujuan utama kita yaitu menyejahterakan rakyat), bisakah kita menaikkan produksi dan menurunkan harga?

Okay, pertama, bila kita ingin menaikkan produksi, kita biasanya melakukan kombinasi dari: (1) mempekerjakan lebih banyak pekerja dan (2) menambah jumlah mesin, pabrik, alat berat, dst. Namun, bila kita menambah permintaan terhadap pekerja dan jumlah mesin, maka tingkat upah dan harga mesin akan ikut naik, sehingga ujung-ujungnya, wirausahawan (yang keuntungannya sudah setipis silet) harus menaikkan harga di tingkat pembeli. (Lagipula, dengan menambah jumlah pekerja yang anda gaji dan meningkatkan belanja modal, anda akan secara efektif menaikkan belanja total dan mendorong naiknya tingkat harga).

Atau skenario kedua untuk menaikkan produksi, kita memaksa para pekerja untuk bekerja lebih lama (sehingga jumlah produksi meningkat) tanpa membayar tambahan upah. Secara efektif, ini sama saja dengan menurunkan tingkat upah nominal para pekerja. Kemungkinan besar anda sebagai pemerintah tidak mungkin segila itu untuk menyiksa rakyat anda untuk bekerja lebih lama, dan kalaupun anda tega, rakyat anda akan balik melawan. Dalam ekonomi, kemustahilan pekerja untuk menerima penurunan upah disebut dengan kekakuan harga (nominal rigidity). Apabila pembaca tidak mengharapkan gaji pembaca turun, maka jangan mengharapkan harga-harga ikut turun.

Kesimpulannya, premis II, mengingat tujuan kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum , maka nilainya adalah salah.

Berikutnya, mari kita melihat hubungan sebab akibat dari premis I dan II. Sebetulnya, tidak ada hipotesis yang secara logis membenarkan hubungan antara pemberantasan mafia dan penurunan harga seperti dimaksud dalam tuntutan, terutama di jangka panjang. Asumsikan bahwa tuntutan nomor (4) bernilai benar, di mana pemberantasan mafia memang menurunkan harga. Bisa saja terjadi penurunan harga apabila struktur hampir seluruh pasar barang dan jasa adalah oligopoli yang mengarah ke kartel.

Namun sebenarnya, mengingat bahwa struktur pasar kebanyakan barang dan jasa adalah kompetitif, maka efek dari pemberantasan mafia terhadap harga akan sangat terbatas dan hanya terjadi satu kali saja, bukan berkelanjutan. Lagipula di jangka panjang, apabila pemberantasan mafia berhasil, hal tersebut akan memperbaiki persepsi masyarakat dan pengusaha terhadap iklim usaha di Indonesia. Akibatnya, mereka akan menambah belanja konsumsi dan modal (investasi) lebih banyak lagi, yang akan menaikkan tingkat harga, dan membuat tuntutan nomor (4) menjadi kontradiktif apabila benar. Maka, tuntutan nomor (4), seberapapun persuasif narasinya, bernilai salah.

Maka, mengingat bahwa truth value dari sebuah pernyataan (X → Y), di mana X bernilai benar dan Y bernilai salah, adalah salah, dan tidak adanya dasar teori ekonomi yang mendukung pernyataan tersebut, maka keseluruhan tuntutan nomor (4) menjadi tidak logis mengingat bahwa kenaikan harga di dalam perekonomian yang bertumbuh cepat seperti Indonesia adalah sebuah keniscayaan, dan hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menjaga inflasi di level yang rendah. Lagipula, hal yang tidak disadari oleh para kawan-kawan aktivis adalah bahwa data menunjukkan bahwa inflasi selama beberapa tahun terakhir sudah berada di tingkat yang paling rendah dan terkendali sepanjang sejarah. Bahkan dengan memasukkan data pencilan tahun 1997, tren inflasi cenderung negatif (terlihat dari persamaan regresi pada gambar)

Screen Shot 2015-03-20 at 8.17.36 PM

Hal ini bukan berarti bahwa pemberantasan mafia tidak perlu, namun pemberantasan mafia dan penurunan tingkat harga merupakan hal yang tidak berhubungan. Kita telah mengetahui bahwa harga hampir tidak mungkin turun, kecuali apabila kita ingin kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan turun. Menuntut boleh, tapi sebelum menuntut, ada baiknya memeriksa apakah tuntutannya logis atau tidak. Apa bedanya menjadi mahasiswa dengan tidak menjadi mahasiswa kalau tidak bisa memeriksa kembali jalan pikirnya?

Uang adalah akar dari kebahagiaan (atau begitulah kata BPS)

Lebih banyak uang, secara statistik, membuat kita lebih bahagia

Those who think money can’t buy happiness just don’t know where to shop

Terlepas dari apakah orang kaya lebih susah masuk surga dibanding unta masuk lubang jarum, BPS baru-baru ini menerbitkan data statistik yang menyiratkan bahwa orang yang semakin kaya akan semakin bahagia. Apabila anda orang kaya, berbahagialah, sebab walaupun anda belum tentu masuk surga, anda pasti lebih bahagia dibanding tetangga anda. (Bahkan anda tidak perlu repot-repot memusingkan masuk surga apabila anda termasuk golongan orang yang kurang percaya pada hal-hal seperti surga dan neraka)

Atau setidaknya itulah yang bisa kita tafsirkan dari data statistik kebahagiaan BPS. Bagi yang belum tahu, BPS mengeluarkan survei tentang kebahagiaan subyektif, dengan harapan bahwa statistik ini dapat menangkap perbedaan kebahagiaan yang subyektif.

Secara umum, BPS menunjukkan bahwa seluruh kelas masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali lebih bahagia di tahun 2014 dibanding di tahun 2013. Namun, seperti segala sesuatu yang ada di bawah langit, tetap terjadi ketidakadilan dalam persebaran kebahagiaan di antara penduduk-penduduk di Indonesia. Kesimpulan penting yang kita dapatkan dari statistik kebahagiaan adalah:

Semakin kaya seseorang, semakin bahagialah ia (?)

BPS melansir bahwa rumah tangga yang berpendapatan di atas Rp 7.200.000/bulan mencatatkan indeks kebahagiaan sebesar 76,34, sedangkan rumah tangga yang berpendapatan di bawah Rp 1.800.000/bulan hanya mencatatkan indeks kebahagiaan sebesar 64,58. Secara singkat, kita bisa menyimpulkan bahwa komponen signifikan dari kebahagiaan sangat memerlukan uang. Ibu anda tidak salah ketika berkata, “bisa makan (dan bahagia dengan cara) apa cuma pake cinta?”

Screen Shot 2015-02-06 at 10.58.24 PM

Hal menarik dari statistik ini adalah bahwa indeks kebahagiaan menunjukkan pola yang akan langsung familiar di telinga pelajar ekonomi: diminishing marginal return. Setiap tambahan rupiah akan memberikan tambahan kebahagiaan yang semakin sedikit. Artinya, untuk mendapatkan kebahagiaan sebesar dua kali lipat, anda mungkin membutuhkan tambahan pendapatan sebesar empat kali lipat. Atau delapan kali lipat. Atau seratus kali lipat. Sama seperti makan makanan enak, porsi pertama akan selalu lebih nikmat dari porsi kedua, dan porsi kedua akan masih lebih nikmat dari porsi kesepuluh (porsi di mana anda mungkin sudah akan mencret-mencret).

Lagipula, apabila anda memiliki pendapatan yang luar biasa tinggi, kebahagiaan anda mungkin tidak lagi meningkat signifikan dengan tambahan pendapatan yang signifikan. Apabila semua hal-hal lainnya dianggap sama, mungkin saja Agus Martowardojo (Gubernur Bank Indonesia, mantan Presdir Bank Mandiri) akan sama bahagianya dengan James Riady (anggota keluarga pemilik Lippo Group), yang pada akhirnya mungkin akan sama bahagianya dengan Bill Gates (orang terkaya di dunia). Bagi orang yang sudah merasa memiliki pendapatan dan harta yang banyak, pencapaian-pencapaian hiduplah (seperti menjadi seseorang yang bermakna dan berguna di masyarakat) yang akan menjadi kunci penentu kebahagiaan. Abraham Maslow secara gamblang menjelaskan kenyataan ini lewat teorinya, yaitu hierarchy of needs.

Secara singkat, Maslow berkata bahwa orang-orang memiliki beberapa tingkatan kebutuhan yang berbeda-beda dalam hidupnya. Pada tingkat paling dasar, manusia berusaha untuk bertahan hidup dalam artian fisik, yaitu dengan makan, minum, berlindung, dan bereproduksi. Banyak penduduk di Afrika dan sebagian di Indonesia masih kesusahan memenuhi kebutuhan pada tingkat ini. Apabila kebutuhan fisik sudah terpenuhi, maka manusia mencoba mencari keamanan. Salah satu alasan utama banyak pekerja lebih suka menjadi buruh di PT atau PNS golongan awal daripada bertani adalah karena dua pekerjaan pertama menawarkan keamanan dari sisi gaji dan dari sisi kesehatan. Ketika dua aspek pertama, yaitu kebutuhan fisik dan keamanan sudah terpenuhi, maka manusia akan membutuhkan rasa memiliki dan dicintai (love and belonging).

Para manusia-manusia Indonesia yang telah berpendapatan di atas Rp 7.200.000 per bulan, yakni para kelas menengah ngehe, memiliki kebutuhan tambahan di samping tiga kebutuhan tadi, yaitu rasa dihargai (esteem). Apabila bingung, kebutuhan ini bisa juga disebut kebutuhan akan gengsi walaupun mungkin tidak terlalu tepat. Orang mencoba mencari kebahagiaan dengan melakukan hal-hal yang dapat menunjukkan keunggulan status sosial mereka. Mungkin rasa dihargai bisa diraih dengan mobil baru, rumah baru, iPhone baru, walaupun jangan sampai dengan suami/istri baru. Apapun barangnya, para kelas menengah profesional ini, yang sangat diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menjadi makin mampu memenuhi kebutuhan akan rasa dihargai. Atau gengsi. Whatever.

Bagi yang pendapatannya sudah jauh sekali di atas batas BPS di kisaran Rp 7.200.000 per bulan, mereka mungkin mulai terbiasa dihargai dan sudah jelas sering makan enak, sehingga mereka ingin merasa benar-benar berguna. Aktualisasi diri dalam bahasa kerennya. Mereka mencoba memaksimalkan potensi dalam diri mereka karena, jujur saja, mereka sudah memenuhi kebutuhan lainnya. Dan anda bisa menebak bahwa orang yang sudah bisa mengaktualisasi dirinya sangat mungkin jauh lebih bahagia dibanding mereka yang tidak tahu mau makan apa besok.

Jadi mungkin, pendekatan ekonom yang cukup hedonik (segala sesuatu diukur dan ditaksir dengan uang), cukup mendekati kenyataan. Orang yang berpendapatan makin tinggi memang makin bahagia. Not bad, econ theories.


Disclaimer:

jelas bahwa hal ini tidak berlaku bagi setiap orang. Beberapa orang yang memang secara sukarela memilih gaya hidup sederhana, seperti para biarawan/biarawati, biksu, atau bahkan orang-orang biasa, mungkin memiliki hidup yang lebih bahagia dan lebih bermakna dibanding orang-orang yang lebih kaya. Orang-orang ini bisa menjadi bahagia karena mereka tidak membiarkan diri mereka mengejar harta dan membentuk pola pikir yang tidak mengasosiakan harta dengan kebahagiaan. Namun, lagi-lagi, kebanyakan orang sepertinya lebih tertarik mengejar kekayaan dan kenyamanan dibandingkan mengambil kaul kemiskinan, sehingga artikel ini, serta statistik kebahagiaan BPS, secara umum tuetap benar.

Ada Apa Dengan (harga) Minyak?

Kenaikan harga BBM November kemarin adalah akibat pencabutan subsidi. Penurunan kali ini bukanlah sikap pemerintah yang menjilat ludah mereka, namun karena dinamika pasar minyak dunia

(Update: Penulis menambahkan cerita mengenai supply minyak OPEC dan Russia. Penulis mengakui bahwa drama harga minyak mentah dunia jauh lebih kompleks dari yang diceritakan di bawah ini, namun pemaparan ini cukup mendekati kenyataan)

Bagi yang mengikuti berita terkini, mungkin kalian akan heran dengan kebijakan pemerintah terkait harga BBM jenis Premium.

“Udah naik jadi Rp 8.500/l lah sekarang turun lagi ke kisaran awal (Rp 6.600/l). Kok plin-plan?”

Sebelum (seperti biasa) menyalahkan pemerintah, mungkin ada baiknya kalian mengetahui dulu alasan di balik naik turunnya harga minyak, dan mengapa pergerakan harga minyak yang naik turun lebih baik daripada kebijakan subsidi seperti yang dijalankan pemerintahan sebelumnya.

Pump, baby, pump! (Courtesy of Lionel Allorge)

Bagi yang ga sabaran silakan lihat jawabannya di bagian Ini Inti Jawaban Pertanyaan Paling Awal: di paling bawah

(Disclaimer: Penulis tidak pro- atau anti-pemerintah. Penulis hanya mencoba melihat dari sudut pandang yang ilmiah)


Untuk mengetahui bagaimana kebijakan terkait harga minyak diambil, ada baiknya kalian mencoba melihat kebijakan ini dari kacamata pengambil kebijakan, terutama pada saat mereka mencoba untuk menaikkan harga minyak dari Rp 6.500/l menjadi Rp 8.500/l akhir tahun lalu. Mungkin kira-kira bakal kayak gini:

MENTERI KEUANGAN (c. October-November 2014):

“Hmmm…kalau harga minyak tetep segini ($90-110/barel), subsidi bakal terus bengkak, apalagi yang beli mobil dan motor makin banyak. Bayangin, subsidi 2015 aja Rp 414,7 triliun! BBM sendiri harus disubsidi Rp 276 triliun! Masak harus ngutang Rp 245 triliun tahun depan? Bunga naik, bayar utangnya naik. Huuftt…..”

GUBERNUR BANK INDONESIA (c. October-November 2014):

“Wah ga bener nih, gara-gara harganya disubsidi, yang beli BBM lebih banyak dari yang seharusnya. Padahal BBM kan harus import. Tambah lagi negara tujuan ekspor lagi lesu, neraca (transaksi berjalan) defisit! Kalau ga intervensi, Rupiah bisa melemah, inflasi naik! Makin gede aja nih beban gue buat jaga Rupiah…”

MENTERI PERDAGANGAN (c. October-November 2014):

“Yasalam, defisit lagi neraca transaksi berjalan. Mana penyumbang terbesar komponen impor itu dari impor minyak lagi. Tapi ya gimana, konsumsi dalam negeri besar, produksi emang udah mentok segitu. Kalau tutup impor minyak nanti bisa mobil mogok nasional dan pemadaman bergilir cuma biar neraca transaksi berjalan membaik, apa kata dunia?”

JOKOWI (c. October-November 2014):

“Weleh, udah keburu janji bakal perbaiki infrastruktur, udah keburu tebar pesona bakal langsung kerja, tapi ga ada uang! Kalau mau perbaiki infrastruktur dengan tambah utang, nanti defisit bakal >3% GDP, padahal mah aturannya ga boleh. Paling bener sih potong subsidi, kasih ke pos lain. Tapi……..bodo amat ah, potong aja subsidi…”

Jelas bahwa menteri-menteri dan petinggi bangsa kita tidak berpikir dengan bahasa yang sangat (ahem..) sehari-hari seperti di atas. Logika ekonominya pun lebih kompleks dibanding di atas. Namun marilah kita tidak masuk pada ranah teknis ekonomi (yang mungkin akan membuat mual pemirsa sekalian yang tidak terbiasa dengan matematika atau benci matematika) dan lebih mengarah pada pertanyaan yang mudah namun substantif:

Q: mengapa harga BBM harus naik?

A: “We need more money and less imports, you son of a b****!”

Jelas, kalau mau bangun sekolah, rumah sakit, pelabuhan, jalan, bandara, pintu air, pengadaan transportasi massal, kanal, sewerage, pembangkit listrik, dll. perlu uang yang banyak. Butuh ratusan, bahkan ribuan triliun rupiah untuk investasi di infrastruktur agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dan bisa lebih kompetitif. Dan mungkin ada yang bakal bertanya:

“Kok harus cabut subsidinya, kan menyengsarakan rakyat?”

Rakyat yang mana toh, lek? Kalau yang dimaksud rakyat adalah kaum kelas menengah ngehe, ya jelas sengsara. Rakyat miskin mah ga peduli dengan harga minyak naik atau turun, ya mereka ga pake motor (apalagi mobil). Kalaupun argumennya adalah bahwa harga minyak membuat biaya transportasi naik dan harga-harga naik, kemungkinan anda adalah orang yang tinggal di Jawa (90% probability kalian orang Jakarta). Why?

Nyatanya, karena subsidi BBM menelan ratusan triliun yang habis di tengah jalan karena macet yang terpampang nyata dan sungguh paripurna, banyak orang-orang di Nusa Tenggara Timur ga bisa dapat akses ke air bersih. Atau orang-orang di Papua yang heran kenapa orang Jakarta ngomel bensin naik jadi Rp 8.500 padahal bensin di Papua tetep Rp 40.000 saja karena jalan antar-kota rusak parah. Atau orang di pedalaman Kalimantan yang heran karena orang Jawa mencak-mencak karena harga daging naik padahal mereka bahkan ga punya akses ke perdagangan ternak karena jalan trans-Kalimantan udah berubah menjadi kubangan. Feeling so miserable, eh, Jakartans?

Okay, daritadi agak melantur, mari kembali ke topik (ahem). Karena pemerintah ingin mendapatkan uang untuk membangun infrastruktur, terutama di Indonesia Timur, maka mereka memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Kalau dari sudut pandang ekonomi, ini adalah kebijakan yang tergolong “no-brainer”, sudah sepantasnya dan sewajarnya, dan bahkan kebijakan yang lebih tepat adalah membuat BBM lebih mahal dari harga pasar. Mengapa?

  1. Karena yang kebanyakan pakai BBM bersubsidi adalah kaum kaya dan kelas menengah, yang terang-terangan tidak layak untuk disubsidi
  2. Karena penggunaan BBM memiliki dampak negatif terhadap lingkungan (global warming, anyone?), sehingga harus dibatasi dengan cara memajaki harga BBM (sehingga lebih mahal)
  3. Karena anggaran pemerintah terbatas! Pemerintah tidak bisa membangun infrastruktur, memberi subsidi kesehatan via BPJS, memenuhi kewajiban pertahanan, keamanan, dan pendidikan serta secara bersamaan menyubsidi BBM. Harus ada anggaran yang dipotong.

Ini Inti Jawaban Pertanyaan Paling Awal:

Mungkin kalian di titik ini akan setuju dengan pembatasan subsidi BBM. Lalu kalian bertanya-tanya: kok udah naik, terus turun lagi?

Kalau kalian tidak tahu jawabannya, mungkin kalian terlalu banyak baca berita online lokal (macam komp**.com, det**.com) atau TV lokal (macam TVO*e atau M**ro TV). Cobalah sekali-kali update berita di Financial Times, Bloomberg.com, atau Wall Street Journal, dan kalian akan tahu lebih cepat mengapa harga minyak turun lagi (plus, analisis sumber berita bisnis yang tadi penulis beri tahu lebih bagus dari sumber lokal, yang banyak penulisnya bahkan ga pantes lulus Pengantar Ekonomi 1)

Ketika di bulan Oktober-November pemerintah membahas dan memutuskan untuk mengurangi subsidi secara signifikan, harga minyak masih ada di kisaran $80-110/barel, cukup sesuai dengan asumsi APBN 2015. Namun tiba-tiba negara api menyerang harga minyak turun hingga sekarang berada di kisaran $45-$50/barel.

LOH KOK BISA?

2015/01/img_0646-0.jpg

Amerika Serikat, beserta teknologi horizontal drilling, fracking, serta ekstraksi pasir minyak (oil sands) dan shale gas berhasil meningkatkan produksi minyaknya secara luar biasa. Rupanya, peningkatan produksi mereka cukup cepat untuk membuat dunia mengalami surplus produksi minyak sebesar 1-2 juta barel per hari (ada 1-2 juta barel tiap hari yang tidak digunakan namun terus dipompa). Mengikuti hukum paling dasar dalam ekonomi, kelebihan penawaran akan menurunkan harga.

Produsen di negara-negara OPEC melihat bahwa harga minyak turun cukup signifikan akibat kelebihan supply dari Amerika Serikat (dan juga Kanada). Namun, karena mereka cenderung sangat tergantung pada minyak untuk memenuhi anggaran belanja masing-masing, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang cepat selain memompa lebih banyak minyak. Kasus inilah yang terjadi pada beberapa negara, terutama Rusia (yang sedang berjuang melawan sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa terkait Ukraina). Saudi Arabia, yang sebelum-sebelumnya menjadi penyelamat harga minyak (dengan mengurangi supply-nya sendiri) sekarang gamau intervensi. Alhasil, pasokan minyak menjadi tetap berlebihan di pasar, dan pelaku pasar merespon dengan panik.

Namun ternyata bukan cuma masalah penawaran, tapi juga ada masalah permintaan. Ekonomi China Tiongkok dan Eropa sekarang mengalami perlambatan, sehingga tidak ada yang menyerap kelebihan produksi tersebut. Ketika penawaran berlebih dan permintaan berkurang, keduanya adalah resep jitu untuk membuat harga minyak turun lebih dari 50% dalam waktu kurang dari 3 bulan. 

Wajar dong kalau pemerintah akhirnya merevisi ulang harga minyak dan kembali turun ke level Rp 6.600, harga di negara-negara lain bahkan udah turun lebih cepat dari Indonesia. Kalau kemarin harga Rp 6.500 itu bohong-bohongan disubsidi, maka harga sekarang adalah harga keekonomian, sudah tidak disubsidi. Lagipula, dengan kebijakan pemerintah yang merevisi harga minyak setiap bulan, pemerintah bisa memberlakukan kebijakan subsidi tetap (sehingga tidak perlu APBN-P melulu) dan membiasakan orang Indonesia menghadapi harga minyak yang fluktuatif seperti miliaran orang lainnya di luar bumi Indonesia. Jadi dalam kasus ini, harga BBM yang bergejolak itu bukan karena pemerintah plin-plan ya, tapi karena pasar yang bergejolak yang bergejolak.

Gitu loh.

Automate: An Inquiry into the Future of Labours

The future is here, and it will impact our labour market in profound ways

The heyday of manufacturing workers will soon be gone

BKPM (Indonesia Investment Coordinating Board) once stated that one of the main advantages to invest in Indonesia is the relative abundance of cheap labours. While BKPM had erased the “cheap labour argument” as a key advantage following the directive of Office of President to eliminate cheap wages, many (if not most) of emerging economies try to lure investments, especially in manufacturing industries, by boasting educated, semi-skilled cheap labours. The labour advantages, that is abundance of educated (albeit rudimentarily) and cheap supply of labours, have drawn investments needed for emerging economies to expand its manufacturing base from developed countries through the mechanism of outsourcing for the last 40 years. The promotion of cheap labour wages in the early stage of development in many emerging countries have been met with considerable successes. Some early emerging economies that used to rely on cheap wages to attract investments, such as Taiwan, Malaysia, and Mexico, has emerged from low income countries into upper middle income countries by the turn of 21st century.

Since the 1990s, not only the biggest of corporations are taking advantage of cheap labours in most part of Asia; many mid-sized corporations in Western Europe, North America, and Japan have offshored (in the form of outsourcing) their manufacturing jobs to China, India, Southeast Asia, Latin America, and (recently liberalised) Eastern Europe. With low oil price during the 1990s and early 2000s (hence lower transportation costs) and increasingly fierce competition drive corporations that used to hire local workers in developed countries to developing countries like Indonesia in search of higher profit margin, much to the resentment of politicians and manufacturing workers in the developed countries. Even with incentives to boost manufacturing sectors in developed countries, e.g. tax credits for products made locally to rising waves of protectionism that proliferates after the late-2000s global financial crisis, we are still seeing loss of manufacturing jobs in the United States and many other countries globally.

Notwithstanding, the prevailing long-term trend of manufacturing job loss due to offshoring may be halted due to recent high-profile in-shoring/re-shoring (moving back manufacturing jobs to developed countries) program by big corporations, such as General Electric’s plan to reopen its appliance plant in Kentucky and National Cash Register’s plan to build ATM in Georgia. Boston Consulting Group projected that reshoring will bring back 5 million jobs to the United States’ economy by 2020. This trend may reverse the trend of decaying manufacturing sector in developed economies, especially United States and significant enlargement of manufacturing sector in developing nations.

Despite the rising cost of labours in emerging economies, especially in China, which is expected to rise by 18% annually (also the souring industrial relation in Indonesia regarding minimum wages) often cited as the reason of reshoring, the trend of bringing back manufacturing jobs to developed (home) countries is somewhat more perplexed than what it seems to be. Amongst other significant reasons are the need of faster shipping time, lack of coordination between offshored factory with engineers and other creative workers back home, and rising shipping costs due to higher fuel prices. Another reason, the one that may accelerate further trend of reshoring, is the difference in productivity due to differences in human capital. While it is obvious that workers in developed countries are better educated, hence deliver higher productivities, the changing dynamics of manufacturing sectors will make human capital differences a major determinant in the rise or fall of manufacturing sectors in every economies, developed or developing.

What will be the changing dynamics of manufacturing sectors worldwide? It is new technologies that are continuously being perfected, namely intelligent robotics and three-dimensional printing (3D-printing). These two technologies have one common denominator: (almost) complete automation. Rifkin (2012) even advocated that three-dimensional printing may be the manufacturing driver of Third Industrial Revolution, a concept that has been endorsed by European Union. Advanced robotics may also be a part of Third Industrial Revolution, as the new generation of robots are able to acquire skills in a way human acquire skills and do things in a far greater precision and far more extreme circumstances, eliminating the needs of most manual jobs in manufacturing process. Facing the more automated manufacturing process, one should take caveat that the automation will drive structural change in labour market, which will be discussed further.

“They are more efficient and effective at getting the jobs done, and they don’t demand pay raise and bonus every year”

Structural Change in Labour Market: Theoretical & Practical Background

In order to see the companies hiring and firing decision in the presence of automation process (three-dimensional printing and advanced robotics), we first discuss the mechanism of automation, the cost structure of automation process, and the type of labour used in such process. We will then analyse the cost structure of contemporary manufacturing process (with or without presence of basic robotics) and determining the break-even cost of capital in respect to cost of labour. However, since the cost structure vary by firms, the cost structure presented in this paper will be analysed qualitatively. Further, we will analyse the impact of structural change to how variation of quality of human resources between countries will affect their manufacturing sector continuity and its implication on emerging economies’ labour market, especially in the case of Indonesia.

As per usual in the labour economics model, we will assume perfectly competitive labour market and goods market (firms are price taker for labour wages and price of firm’s goods). Firms, therefore, are assumed to have zero economic profit. However, in this model, firms do not have to adhere the assumption of zero hiring & firing costs. This model also assume zero income tax for firm’s accounting profit.  We also assume labour supply function and price in the output market remain constant.

How is the present cost structure of labour affecting a firm? Eventhough being a price taker, a firm faces a non-linear long-run workers’ cost function as the result of decreasing marginal productivity. Firm firstly will experience downward average total cost function due to reduction of average fixed cost as the firm produce more Up to certain point, nevertheless, firms should eventually encounter the upward sloping cost function, either due to overtime pays for working for longer hours, increased supervision and management costs for overseeing large sum of workers. In order to retain focus on the employment issues, we will assume that for any alternatives, costs outside the labour and capital costs remain constant. That way, we will find that variation of long run average total cost depends solely on wage (non-linear or linear) and the cost of capital (constant or almost flatly linear).

In current situation, labour costs may compose considerable portion of cost structure of a firm, adhering to Marshall’s Rule of Derived Demand. This is especially true in emerging economies, where cheap labours disincentivise a firm to operate with greater portion of labour to capital. However, given the nature of workers that are prone to diminishing marginal productivity, propensity to demand wage increase, characteristic differences across workers, and physical limitation to work in extremes condition (non-stop operation, extreme manufacturing needs, etc.) has led workers to have dynamic level of productivity given the static wage. After workers’ wage level has increased high enough, firms are compelled to switch to capitals or send the work to be done overseas, where the wage level are significantly lower compared to the home countries (offshoring). Many firms, given the limitation of machineries development, have historically off-shored manufacturing works after resorting to capital have become unfeasible, as argued earlier.

The cost structure of automated works, whether by advanced robotics or three dimensional printing technologies (or both), are significantly more predictable to current manufacturing cost structure. Three dimensional printing allow manufacturers to create arrays of bespoke goods (often with extreme needs that cannot previously be achieved with current manufacturing process) without the associated increased costs of production due to increased variations (as assumed by neoclassical economic theories). Advanced robotics will be nearly perfect substitute to manufacturing workers as-we-know-it; new generation robots are able to be trained in the way human workers are trained (lower cost compared to maintenance for current generation of robot and program coding) and are able to work almost continuously  without diminishing marginal productivity in the short run and surely will not ask for raise.

In economic sense, more automated works will significantly reduce the ratio of wages to the overall cost structure, hence making firms less affected by increase (and also decrease) of wage level and workers more flexible to ask for raise. Since automated works command linear total cost in respect to quantity produced and relatively low share of wages to cost structure, the firm’s average total cost will remain fairly constant or flatly linear, assuming ceteris paribus. Such constancy will reduce uncertainty and (surprisingly) spur investments in manufacturing sector, creating additional jobs in manufactoring sectors, although may not replace the number of workers to the level without presence of comprehensive automation.

When will firm decide to automate? Since the capital used between the option to fully automate and to use the current state of technology used by firms, we cannot assess the options with isocost-isoquant assessment. Rather, we will focus only on cost-structure comparison between the options, and find indifference point, given the parameters and exogenous variables in the cost structure.

Now, even small creative businesses can own one of these machine at affordable price

A rational firm, according to the equation, will change the structure when the present value of savings incurred by shifting to automation exceeds the severance costs, given the same quantity produced by the two alternatives. When we assume the severance costs as zero, the equation may be reduced and the decision to shift occurs when the automation lower the total cost of production compared to the manufacturing process occured given the same quantity produced. We have to bear in mind that the shift to automation as given above does not necessarily imply that the quantity produced by firm stays the same; when (and most likely) the quantity produced rise, the total costs are proportioned to the initial quantity produced so that the comparison can be feasible. For example, when initial quantity produced is 8,000 and automation (whether by using advanced robotics or three-dimensional printing) drive up production to 10,000 unit, we then will multiply the total cost by the factor of 80%.

The equation does not require the wage for the two production to be the same. In fact, it will be an exceptional case when we have the same wage level for the two manufacturing process. While in the traditional manufacturing process we are considering “workers” as the people who manually operate the machines on the assembly line, manufacturing workers in the era of advanced robotics and three-dimensional printer will be of much higher skills, such as robot trainers, CAD (Computer-Aided Design) drafter, quality controller, and (more) maintenance workers, leaving almost none of the manual jobs performed even in today’s most sophisticated factories. As these workers possess higher skills that can be obtained only in vocational colleges, workers with lesser education, namely high school graduates and lower, will be hit the most when the price of advanced robotics and three-dimensional printer have been low enough to be economically feasible.

The temporary relief for low- or semi-skilled manufacturing workers are these technologies are not yet ready for the mass production. Three-dimensional printers’ uses are still limited to prototyping in large corporations or artisan and hobbyist products, which have low quantity output and subject to high degree of customisation. Advanced robotics are also still in its development stage, with only perfected prototypes so far have been produced. However, given the trend of technological progress in the course of modern human history, we may expect these full-automation technologies to revolutionise the manufacturing sectors worldwide in as late as two decades. By then, we will see the decline in the number of manufacturing jobs worldwide, with the available jobs reserved to specialised, highly-skilled workers.

Effects of Automation and Policy Implications

We have so far noticed that once the three-dimensional printing and advanced robotics become available for mass-production manufacturing process, the number of manufacturing jobs will eventually decline globally. However, another part of the story is that the job losses are not distributed proportionately. Assuming the maintenance of status quo until the arrival of the two automation processes, we will find that while the total jobs are declining, the manufacturing job losses in the industrialised countries will likely be assuaged or even add jobs (in certain circumstances) due to more technology-ready population. Industrialised countries have advantages over developing countries or even economically-stagnated developed nations in terms of higher quality education system that is available to most of the population. Emphasis on creative culture and hard working cultures will be of much help, since the need of creative works, which put emphasis on mental ability, will extend to automatised world of manufacturing works.

While the manufacturing job losses are ameliorated on developed countries, developing countries and struggling developed countries will be disadvantaged by automation. The relatively lower level of educational attainment of the population, lower level of affluence to afford additional training to suit in another industries, and lower level of creative class on the society will make once thriving manufacturing sectors, propelled by outsourcing demand from developed countries, will be downsized, for the automated manufacturing process does not rely on cheap labours, rather on proximity to main market and the availability of highly skilled labours. This trend is magnified by the reality that many high value-added, innovation-driven corporations are based on a few countries, especially United States, Germany, South Korea, and other traditional center of innovations, leaving most developing countries relying on service sectors, basic manufacturing, and extractive industries.

The potential challenge posed by automation trend in the future will be a key issue for struggling Indonesia’s manufacturing sectors. While constantly adding jobs since the 1998 crisis, the manufacturing job growth have been significantly lower compared to the pre-crisis era. The manufacturing problems today may be attributed to internal, unsystemic factors such as inefficient bureaucracy, rampant corruptions, souring industrial relations, and poor infrastructures. While the governments are working hard on eliminating these obstacles to the manufacturing sectors, we cannot guarantee that manufacturing job figures will improve even after elimination of high-cost economy should the improved investment climate comes when the automated manufacturing process have been widely implemented and Indonesian workers cannot compete globally with manufacturing workers in developed countries, which have significantly higher productivity.

With most of the jobs are done by those advanced machineries, these kind of view will become increasingly rare

The almost-certain possibilites that the world will move toward fully-automated manufacturing processes leave us no option in order to strengthen and prevent the significant loss of manufacturing jobs but to increase the human capital of Indonesian workers and especially future generations of workers. The increase in human capital to harness high-skilled workers can only be attained by significant reform in the education system. However, the current curriculum of Indonesia, which gives weak emphasis on creativities (more emphasis on rote memorizing than putting theories into analysis in examinations) and IT literacy are not good starting points to compete with workers in the foreign soils. Moreover, the availability of decent and proper education (up to the standard set in the curriculum) to mass population is poor, with only few percentiles of students in Indonesia are introduced to basic proper knowledge of information technology and practical applications to harness the benefits of information technology.

In qualitative terms, Indonesian workers and future workers are ill-equipped to face the wave of manufacturing automation and are prone to significant loss of manufacturing jobs. If government is commited to protect and adapt Indonesian manufacturing sector, the primary homework for the government is to update the curriculum, teachers’ competences, and educational infrastructures across the nation, so that the students will learn the relevant skills that are needed to thrive in the age of three-dimensional printing and advanced robotics. Only with relevantly-skilled workers will Indonesian manufacturing sector adapt in the Third Industrial Revolution, without having to deal with the painful loss of a sector that employs more than 11 million workers.

Delusional

We wake, we breathe

We travail

We fake, we cheat

We prevail

 

But do we live?

No, we are just living bodies with dying souls

 

We often try to be anything but ourselves

We lied that everything was alright

We pretend that everything is alright

We delude ourselves that everything will be alright

We are just too shattered to accept that everything is not alright

 

No, we are not alright

 

We are too arrogant to acknowledge that we do not really know who we really are

They said, “It’s your own body and soul!”

 

Yet we don’t want to know who we really are; we perceive ourselves as who we want ourselves to be

Because knowing our true selves reveals our shattered, dying souls

 

And when we have realized who we really are, we just have gone too far

We convince ourselves that the way back to good is nowhere within our reach

 

Liar!

Thankful

File:Manzanar Relocation Center, Manzanar, California. Grandfather and grandson of Japanese ancestry at . . . - NARA - 537994.jpg

 

How can someone reach silence and count their blessings?

When they live what people think as an ideal life?

Happy, idyllic, model middle class family? Good grades? Good college? Good major? Bright future? Trusted by peers? Having small but warm circles of friends?

For some, good is not good enough, as if you can never have a fulfilled life.

For some, anything short of perfection is disastrous, and achieving perfection is much like a minimum threshold.

For some, duties, responsibilities, and obligations are words that somehow chain them, make them think that they do not deserve even the humblest praise, even for completing a heroic deeds for public-at-large.

In return, they demand more, more, and more from others.

They expect the world to cope up with their expectation. They think that the world is just as ambitious as them. They think that others can be as hardworking and as persistent as them.

And they keep thinking. And while the world has been exhausted just to keep up with their expectation, they have raised the bar many times.

For in much wisdom is much grief, and he that increaseth knowledge increaseth sorrow

Until they look out.

Until they see that others have been impoverished as they squander resources just to satisfy their insatiable search for perfection.

Until they see that others have been exhausted just to keep up with their impossibly high standards

Until they see that their wealth, their works, their abilities, their influences means nothing

Until they realize that their life is just as ideal as they have ever been when they are grateful of who they are

Until they realize, all go unto one place; all are of the dust, and all turn to dust again.

And when they have realized all of that, they try to be thankful, but they have been trapped in the rat race for false perfection, so they continue the race, and return to business-as-usual

Better is an handful with quietness, than both hands full with travail and vexation of spirit

Word (Ab)use

Boredom could turn over-scrutiny into a blog post, and popular phenomenon is an easy prey

Really sorry for not updating for a while, readers! (I’m too busy in university entrance exams thingy)

Anyway, my major driving force to write is that I’m FED UP with our (yes, Indonesian) pre-teens and teens who happened to abuse these two very words lately: “LABIL” and “GALAU”. The latter is subject to even further shift of meaning and all of my loathings.

To give you perspective about how far the meaning have shifted to this day, here’s the transcript of the meaning of those two words from KBBI (It’s like OED for Indonesian language) 1988.

Labil: 1. goyah, tidak mantap (tt bangunan, pendirian, dsb); 2. goyang, tidak tenang (tt kendaraan, kapal, pesawat terbang); 3. tidak tetap, mudah berubah-ubah, naik turun (tt harga, nilai uang, dsb); 4. tidak stabil, cenderung berubah-ubah

So far so good. Now let’s see the meaning of “galau”

Galau a, bergalau: sibuk beramai-ramai, sangat ramai, kacau tidak keruan

Labil was interpreted as, well, labile, unstable. But you would never, ever describe someone’s personality as labil, because labil is usually used in conjunction with its noun, e.g “bangunan itu berdiri di atas struktur yang labil” (the building is built on an unstable structure).

But in contemporary pop culture, labil is mistakenly (ab)used as a substitute to noun plinplan (derived from plintat-plintut), perhaps because of easier pronunciation. Here’s a good example:

A: Labil banget sih lo! (Hey, lad, you’re so labile!)

In order to be more discernible, you have to add a noun for the adjective “labile”. Honestly, for the practicality of communication, one may omit the noun at all, given the context is known to both side, without adding further semantic confusion. But sometimes, you’ll even find further error like this salutation:

A: Heh, bocah labil! (Hey, labile kid!)

Every language learners will absolutely get lost at this point. But this semantic error is way more tolerable than for the word “galau“. Now if you’re about to find why galau is much more a trouble than labil, let’s see this fine example:

A: Duh, lagi galau nih. (oh geez, I’m feeling blue right now)

Note that this is the mildest deviation. The actual meaning of galau is, according to the dictionary, is (mentally) messy, chaotic, disorganized, or for the sake of precision, tumultous. Properly, you usually use galau as in “Ia sangat galau memikirkan kehidupannya yang berantakan” (He/she is very tumultous/confused thinking about his/her ruined life) So why people use the word “galau” instead of “sedih” to express their feeling? I don’t know. But let’s see another example:

B: Dia sedang menggalau abis diputusin pacar (He/she is languishing after he/she broke up with girl/boyfriend)

Another melancholy-related things we have here. People seems to have failed to get the “confused” meaning and instead thinking it as a way to express melancholy and associate it with cheap and seemingly perpetual fad of teenage relationship. But the most confusing surprise come from this example:

C: Gue lagi ngegalau di Mall X (I’m now wandering in X Shopping Mall)

So it seems as if galau is applicable to literally all kinds of  meaning! Now you get a magic word! Ha! And they even think galau has prefix me- instead of ber-. As a person who pay much attention for language, I think this is too far a mistake (isn’t it?)

To make things worse, the shift of meaning also give the word “galau” a new pejorative sense. It’s very ironic since the word galau used to be a word of choice for songmakers (which are also now a degraded members of society) and poet.

Now, why? Why could such a big mistake happened? Why people could degrade the once beautiful meaning of this word?

Blame it to secondary school students. And the high school students. And college students.

It’s ironic since we (yes, I’m also a student) are the next-generation leaders of the nation. Long before this generation comes to its productive age, we successfully tainted the language with such pejorative linguistic measures. Ha, life is great!

Will we stop messing around, or will we continue to mess up this already messy country?

Focus for Future: Ever-Ageing Demographies

What does our demographic future have in store? Unpleasant effects may be an understatement

 File:Senescence.JPG
     To some extent, Japan‘s earthquake reconstruction program may be hindered by a fundamental problem; ageing population. Sometime 40 years ago, Japan’s elderly was supported by 43 people in workforce. The stories have changed, though. Now the ratio is far more worrying, standing at 1:3. Needs of growing number of elderly people and diminishing workforce means Japan workers have more burdens in their shoulders for rebuilding economy than they supposed to have.
     However, Japan is not alone here. Most of developed countries are heading toward the same pattern; lower birth rate and worrying massive pension waves. USA is one of prominent examples in this case. Their post-war Baby Boomers are now reaching their pension age, and that means shrinking per capita productivity compared to 90’s.  Take into accounts the other G8, Euro zone, and OECD countries, and you will get the pensioner’s figure piling up high.
     The advent of modern healthcare, ironically, turns our rising numbers of senior citizens into series of complicated public problems. Advancing healthcare and medicine means pensioners may expect even longer lifespan, but that doesn’t come cheap. The mix of (most of) pensioner’s sedentary lifestyles (thanks to blame technologies!) and profit-driven gerontological healthcare cost each pensioner several to tens of thousands dollars annually, just for health care.
     Falling birth rate, combined with growing number of pensioners, sums up to perfect potential problem in the near future (and global burden in the far future). Ironically, this is caused by successful campaign of contraception. Lessening number of kids is not only the monopoly of developed countries. Mainland China, under the umbrella of “one child policy” has already facing the problems caused by shrinking family size, such as Little Emperor syndrome and potential hikes in workers’ salary in the near future. Other developing countries with such contraception policy, for example Indonesia, are going to face similar problems.
 
Complex Implications
 
     What will we face in the future is not that hard to predict. Falling outputs, productivity, and consumptions will be widespread globally; emerging and frontier markets are no exception. More and more money will be dedicated into healthcare system and pensioners’ care, meaning that those two industries will be one of few industries that can sustain breathtaking growth in the next decades.
     Welfare states will be the worst victim of ageing demography, as falling number of people in workforce and rising number of dependants will leave nations with even higher deficit. States without elaborate welfare programs, although in smaller scale, will experience similar fiscal problems. Levying more taxes upon workers will raise concerns, if not protests, of public. Higher corporate taxes would be contra-productive either, as corporations can easily flee to countries with lower taxes and cheaper workforces. Issuing bonds won’t be a good choice at all, as high yields will be imposed on the concern of augmenting deficits, thus only serve as time bomb.
     Lower productivity means a slowing GDP growth and easily saturated market. Pre-earthquake Japan is a prominent case in this sense. Fewer needs, low healthcare expenses, and high savings rate among elderly people translate to lower domestic consumption. The fact that there are fewer and fewer workers in Japan and already highly automated production have (in some way) contributed to Lost Decades of Japan, a long period of economic stagnation starting in early 90’s.
     Despite its highly negative implications upon national growth and fiscal, those facts don’t necessarily affect quality of life. In fact, ageing population may bring low inflation and increasing government stability, as their subjects are less sensitive and active on political life. Stable population and decreasing mobility also lessen pollution and overexploitation of resources linked to overpopulation, allowing environment to be more sustainable on the long run.
     The best way to overcome ageing population is to promote and apply sustainable demography, that is to bring birth rate and death rate to equilibrium and creating stable population.  The fact that less young people on workforce (and shrinking GDP) than today may be hard to receive in economic standpoint, but letting population counts to achieve a plateau allows nations and world to be sustainable economically.
     The world is heading toward the same direction; having less and less kids. The real question to every parent and government alike is whether we can sustain a stable population or we just allow the human race to diminish slowly yet surely, and leaving us and products of our civilization as a little remnant in the universe?